MAKALAH SUMBER PENGETAHUAN
(akal/rasio, indera, dan intuisi/hati)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap manusia dapat melihat, mendengar dan
merasa.Ada sesuatu yang dapat manusia tahu hanya karena mereka melihatnya.Namun
ada pula sesuatu yang tidak Nampak tetapi kita merasakan keberadaannya. Sesuatu inilah yang disebut dengan alam
fisik dan metafisik. Alam fisik adalah alam yang dapat kita lihat dan kita
rasakan dengan panca indra kita.
Sedangkan alam metafisik adalah alam yang ada
dibaliknya dan tidak dapat dilihat dengan indra, bahkan rasio tak dapat
menjangkaunya. Bentuk dari alam fisik sudah
jelas karena kita dapat melihatnya.Kebenaran atau sesuatu yang ada secara umum
adalah sesuatu yang logis (rasional) dan indrawi. Kebenaran dalam islam bukan
hanya berkutat pada otat dan indra saja. Namun islam juga mengakui adanya
sesuatu yang nyata da nada. Kebenaran yang tidak dapat ditangkap oleh akal dan
indra, namun ada variabel atau instrument lain yang sangat berpotensi
melakukannya (hati/intuitif). Yang akan membuktikan bahwa hal itu atau
metafisik adalah sesuatu yang empiri.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimanakah yang dinamakan sumber pengetahuan rasio/akal?
b. Bagaimanakah yang dinamakan sumber pengetahuan indra?
c. Bagaimanakah yang dinamakan sumber pengetahuan intuisi/hati?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Pengetahuan Rasio/Akal
Secara etimologi pengetahuan dapat diartikan epistemology.Epistemology
berasal dari kata yunani, episteme dan logos.Episteme biasa
diartikan pengetahuan atau kebenaran dan logosdiartikan pikiran, kata
atau teori.[1] Tema yang kerap kali muncul dalam filsafat adalah hubungan antara
pikiran kita dan dunia. Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang
menekankan pentingnya akal dan ide, sedang peran indra dinomorduakan.
Sebaliknya, empirisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya
peran indra sebagai sumber dan alat untuk memperoleh pengetahuan, sedang peran
akal dinomorduakan.
Akal menurut Iqbal, memiliki watak
dasar untuk tidak begitu saja menerima keterbatasan dan terkurung dalam
lingkaran sempit dirinya sendiri.[2] Menurut Plato, hasil pengalaman indra tidak bisa memberikan pengetahuan
yang pokok. Selanjutnya ia mengatakan bahwa pengetahuan yang keluar atau
bersumber pada indra diragukan kebenaran, karena sifatnya yang berubah-ubah dan
tidak tetap. Bagi Plato, ide atau akal adalah alam yang sesungguhnya dan
bersifat tetap, serta tidak berubah-ubah. (Amin Syukur,2002;62)
Aliran filsafat rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan
yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio).Hanya pengetahuan yang
diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum
dan harus mutlak, yaitu dekat yang dituntut oleh semua pengetahuan
ilmiah.Sedangkan pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran
pengetahuan yang telah diperoleh melalui akal.[3]
Pengetahuan rasional yaitu pengetahuan tentang sesuatu yang dapat
diperoleh dengan mempergunakan akal bersifat universal, tidak parsial, bersifat
immaterial, objeknya bukan individu tetapi genus dan spesies.Orang mengamati
manusia sebagai yang diamati itu bersifat materi (jangkung, pendek, kulit
hitam, bertangan, berkaki, dan sebagainya) dan orang tersebut mengamati manusia
dengan akal pikiran, menyelidiki hingga memperoleh sesuatu konklusi yaitu
manusia adalah makhluk yang berfikir. (Sudarsono, 1997;37)
Kaum yang menganut paham atau aliran rasionalisme yaitu Rene Descrates,
W.G. Leibniz, dan Barukh Spinoza. Menurut Rene Descrates bahwa untuk sampai
pada pengetahuan yang pasti dan tidak teragukan mengenai apa saja, kita perlu
mengandalkan akal budi kita sebagai halnya dalam ilmu ukur. Oleh karena itu,
kita perlu meragukan apa saja termasuk apa yang ditangkap oleh panca indera
kita. Para rasionalisme berprinsip bahwa sumber pengetahuan akan secara terus
menerus mencari kebenaran hingga keakar permasalahan. Aliran ini berusaha
menghilangkan aspek pengamatan indrawi sebagai alat untuk mendapatkan
kebenaran, tetapi mereka lebih menggunakan akal, tetapi juga tidak mengingkari
kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan. Indra diperlukan untuk merangsang
akal manusia dan memberi bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja dengan
baik.Menurut aliran ini keputusan-keputusan tentang kebenaran yang rasional dan
dapat dibuktikan dengan konsisten logis proposisi kebenaran tersebut, maka itu
dianggap sebagai kebenaran. (Sony Keraf,2001;45-47)[4]
Dan ayat-ayat lainnya yang banyak
sekali tentang anjuran untuk bertafakkur. Al-Qur’an juga dalam membuktikan
kebenaran Allah swt dengan pendekatan alam materi dan pendekatan akal murni
seperti dalam surat al-Anbiya’ 22 :
”Sekiranya ada di langit dan di bumi
tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha
Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan”. Ayat ini
menggunakan pendekatan rasional yang biasa disebut logika Aristotelian dengan
silogisme hipotesis. Atau ayat lain dalam surat al-Zumar ayat 29 :
”Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang
laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam
perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki
8 (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? segala puji bagi Allah tetapi
kebanyakan mereka tidak Mengetahui”.
B. Sumber pengetahuan indra
Indrawi dari asal kata indra yaitu alat atau bagian tubuh manusia yang
berfungsi menerima rangsangan dan respon dari luar. Indrawi merupakan
pengetahuan yang dimiliki manusia melalui kemampuan indra. Seperti adanya
kasar-halus, gelap-terang, wangi-busuk, pelan-cepat, manis-pedas, dan segala
sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra.
Anak –anak terlahir dalam kondisi tidak mengetahui apapun. Tidak lama
kemudian indranya mulai berfungsi, dimana ia dapat merasa atas apa yang terjadi
padanya dari pengaruh-pengaruh eksternal yang baru dan mengandung
perasaan-perasaan yang berbeda sifatnya. Itulah dasar yang membentuk persepsi
dan pengetahuannya terhadap alam luar.
Seorang empirisme biasanya berpendapat bahwa kita dapat memperoleh
pengetahuan melalui pengalamn. Pengetahuan tersebut diperoleh dengan panca
indra. Jhon Locke sebagai bapak empirisme dari Britania mengatakan bahwa waktu
manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong. Didalam
buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalamn indrawi (Juhaya S.
Praja;1997;17)
Pengetahuan indrawi yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan atas sense
(indra) atau pengalaman manusia setiap hari. Pengetahuan indrawi berbeda dengan
pengetahuan rasional. Pengetahuan indrawi menyatakan bahwa pengetahuan
diperoleh dengan perantara indra, sedangkan pengetahuan rasional menyatakan
bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantara akal, sedang peran indra
dinomorduakan.[5]
Untuk memperoleh pengetahuan akal dan indra mempunyai keterkaitan,
seseorang bekerja untuk memperoleh pengetahuan, potensi indralah yang mengambil
peran paling besar. Didalam pencarian sains, indra dibantu oleh akal, sebanya
ialah indra itu mempunyai keterbatasan. Dengan mengandalkan kemampuan indra
semata, manusia tidak akan memperoleh sains yang bermutu tinggi, bahkan banyak
yang salah.
Dalam mencari pengetahuan filsafat, akal juga memerlukan bantuan indra.
Sekurang-kurangnya indra itu memberikan dorongan bekerja pada akal untuk
memikirkan objek-objek yang tidak empiris. Sulit dibayangkan jika seseorang
akan menghasilkan pengetahuan filsafat, seandainya ia tidak mempunyai alat
indra satupun. Pada kenyataannya potensi itu saling membantu dalam pengetahuan.
Empiric indrawi adalah hasil pengalaman yang dapat ditangkap oleh panca
indra. Ini merupakan penghayatan sensual.Penganut paham empirisme mengatakan
sumber dari ilmu pengetahuan adalah pengalaman.Yang menekankan pentingnya
eksperimen dalam pengetahuan ilmu ilmiah.
Sesungguhnya secara mudah dapat dipahami bahwa penginderaan itu memang
menghasilkan suatu pengetahuan baru.Misalnya, orang mendapatkan pengetahuan
bahwa “parfum itu baunya harum”.Ini berasal dari penciuman yang dilakukan
manusia melalui indranya.
Allah swt berfirman dalam surat
an-Nahl ayat 78 :
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
Islam tidak hanya menyebutkan pemberian Allah
kepada manusia berupa indra, tetapi juga menganjurkan kita agar menggunakannya,
misalnya dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 101 Allah swt berfirman:7
Katakanlah: "Perhatikanlah apa
yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan
rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman"
C. Sumber pengetahuan intuisi/hati
Pengetahuan intuitif secara epistemology berasal dari kata
intuisi.Aliran yang membahas tentang intuisi adalah intuisionisme yang
dipelopori oleh filosof perancis, Henry Bergson (1859-1941). Menurutnya, intuisi adalah semacam intelek yang lebih tinggi yang
mampu memahami apa yang tidak mampu dipahami oleh akal. Intuisi diperoleh melalui pengamatan
langsung , tidak mengenai obyek lahir malainkan mengenai kebenaran dan hakekat
barang sesuatu.[6]
Para sufi menyebut pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam (dzauq)
yang bertalian dengan persepsi batin. Pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan
yang dikaruniakan Tuhan kepada seseorang dan dipatrikan pada kalbunya sehingga
tersingkap olehnya sebagian rahasia dan tampak olehnya sebagian realitas.Hal
itu diperoleh dengan jalan keshalehan, sehingga seseorang memiliki kebeningan
kalbu dan wawasan spiritual prima.
Karakteristik pengetahuan intuitif menurutIbnu Arabi yaitu:
a. Pengetahuan intuitif itu bersifat bawaan (Innate) karena
merupakan limpahan Tuhan. Pengetahuan itu memanifestasikannya sendiri pada diri
manusia dibawah kondisi-kondisi mistis tertentu dan bukan hasil dari praktek
atau disiplin, ia terletak tidur didalam reses-reses terdalam dari hati
manusia.
b. Pengetahuan itu memanifestasikan dirinya didalam bentuk cahaya yang
memenuhi setiap bagian dari hati sufi ketika ia mencapai derajat penyucian
spiritual tertentu.
c. Pengetahuan intuitif itu mematerialkan dirinya sendiri hanya didalam
manusia tertentu, karena pengetahuan tersebut sangat bergantung pada anugrah
Tuhan.
d. Pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang sempurna tentang kodrat
realitas yang diperoleh oleh seorang sufi.
Al-Ghazali menamakan pengetahuan intuitif dengan pengalaman
ma’rifat.Menurutnya sarana pengetahuan intuitif/ma’rifat adalah qalb bukan
indra/akal.Qalb menurutnya bukan bagian tubuh ynag terletak pada bagian kiri
dada seseorang manusia melainkan merupakan realitas manusia serta menjadikan
percikan rohaniah ketuhanan yang merupakan hakekat realitas manusia menjadi
sasaran perintah, cela, hukuman, dan tuntutan dari Tuhan. Bagi seorang ilmuan sekuler, mungkin kalbu atau hati itu hanya dianggap
sebagai sepotong daging yang memiliki fungsi biologis tertentu.memang benar
demikian, kata Al-Ghazali dalam suatu pengertian.
Dalam pengertian kedua, kalbu adalah suatu roh ketuhanan yang halus.Ia
mempunyai hubungan dengan hati yang jasadiyah tadi. Hubungan hati itu dengan
manusia amat sulit dijelaskan. Didalam hati itu terkumpul dua kekuatan:
kekuatan ilahiah (ketuhanan) dan kekuatan Syaithoniyah (kejahatan). Dua
kekuatan ini saling berebut kekuasaan didalam hati.Kekuatan setan itu ialah
marah dan syahwat, sedangkan kekuatan ilahiah itu ialah kekuatan yang mengajak
kepada kebaikan. Kalau seseorang telah dikuasai oleh kekuatan syaithoniyah, ia
akan menjadi jahat. Bila hatinya didominasi oleh kekuatan ilahiah, ia akan
tenang (Q.S Ar-Ro’du:28). Hati itu ternyata pengendali utama manusia.Hati itu menjadi
raja didalam hati manusia.[7]
Dalam Al qur’an Allah swt berfirman
dalam surat al-Anfal 29 :
”Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa
kepada Allah, kami akan memberikan kepadamu Furqaan. dan kami akan jauhkan
dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah
mempunyai karunia yang besar”
Maksud ayat ini adalah Allah swt
akan memberikan cahaya yang dengannya orang-orang yang beriman dapat membedakan
antara yang haq dan yang bathil, atau surat al-Baqarah ayat 282 :
”... dan bertakwalah kepada Allah;
Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Selanjutnya bagaimana cara mendapatkan
kebenaran perspektif sufi dan filosof menjadi persoalan tersendiri. Menurut
para sufi kebenaran yang didapatkan tidak perlu melalui usaha, akan tetapi
lebih menitik beratkan pada kondisi hati dan psikologi seseorang. Jika hati
seseorang telah mampu menerima cahaya Tuhan, maka tidak akan ada penghalang
sedikitpun. Akan tetapi, dalam pandangan filosof untuk menyingkap kebenaran,
diperlukan berbagai upaya maksimal. Hal ini berdasarkan tiga alasan :
1. Sulitnya cara yang biasa
dilakukan para sufi,
2. Hasilnya tidak cepat dirasakan,
3. Sulit (jauh) mendapatkan
persyaratan untuk mencapainya.
Pertentangan dua kutub tersebut di
atas, menjadi ekstrim pada saat alGhzali hidup, dan juga menemukan momentumnya
saat ini. Satu pihak sangat positivistik dengan mengagungkan logika, sebagai
alat untuk mencapai kebenaran, di lain pihak sikap zuhud, dan tidak terlibat
pada hal-hal duniawi menjadi fenomena tersendiri. Penulis meyakini, sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa sumber pengetahuan menurut al-Qur’an adalah indera
dan atau akal, serta hati. Artinya kedua kutub tersebut dapat berpotensi
mencapai kebenaran, akan sangat tergantung pada perspektif dan urgensi langkah
yang dicapai. Sehingga dapat diambil sintesa dari kedua sumber pengetahuan
tersebut.
ANALISIS
Sumber
pengetahuan atau dengan kata lain alat atau cara untuk mendapatkan pengetahuan
itu menurut para ahli filsafat bisa dibagi menjadi tiga cara; masing-masing
disebut dengan Empirisme, Rasionalisme, dan IntuisiWahyu.
Sedangkan
menurut al-Qur’an sumber pengetahuan itu ada indra dan atau akal serta hati.
Islam tidak hanya menyebutkan pemberian Allah kepada manusia berupa indra atau
akal, tetapi juga menganjurkan kita agar menggunakannya, sedang dengan hati
Allah swt akan memberikan cahaya yang dengannya orangorang yang beriman dapat
membedakan antara yang haq dan yang bathil.
Selanjutnya
bagaimana cara mendapatkan kebenaran perspektif sufi dan filosof menjadi
persoalan tersendiri. Menurut para sufi kebenaran yang didapatkan adalah tidak
perlu melalui usaha, akan tetapi lebih menitik beratkan pada kondisi hati dan
psikologi seseorang. Jika hati seseorang telah mampu menerima cahaya Tuhan,
maka tidak akan ada penghalang sedikitpun. Akan tetapi, dalam pandangan filosof
untuk menyingkap kebenaran, diperlukan berbagai upaya yang maksimal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi
dapat di simpulkan bahwa sumber pengetahuan itu ada 3, yaitu ; akal/rasio, indrawi,
dan intuisi/hati. Sumber pengetahuan akal/rasio adalah sumber pengetahuan yang
di dapatkan dengan menangkap suatu fenomena yaitu, aspek realitas sebagaimana
tampak melalui persepsi indrawi. Sedangkan sumber pengetahuan indrawi adalah
sumber pengetahuan yang di dapatkan melalui alat-alat indra. Kemudian sumber
pengetahuan intuisi adalah sumber pengetahuan yang membawa manusia kepada
kontak langsung dengan realitas yang tidak terbuka bagi persepsi indrawi.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Hammami, 1982 ,Epistemologi Bagian I Teori Pengetahuan, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta,
Donny Gahral
Adian, 2003, Muhammad Iqbal, Teraju, Jakarta,
Fathul Mufid, 2008, Filsafat Ilmu Islam, PSSB
STAIN Kudus, Kudus
Noeng Muhadjir, 2001,
Filsafat Ilmu, Rakesarasin, Yogyakarta
Ulya, 2009, Filsafat
Ilmu Pengetahuan, STAIN Kudus, Kudus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar