Minggu, 07 Januari 2018

SUMBER PENGETAHUAN (akal/rasio, indera, dan intuisi/hati)

MAKALAH SUMBER PENGETAHUAN
(akal/rasio, indera, dan intuisi/hati)


     BAB I
     PENDAHULUAN

      A.    LATAR BELAKANG MASALAH
       Setiap manusia dapat melihat, mendengar dan merasa.Ada sesuatu yang dapat manusia tahu hanya karena mereka melihatnya.Namun ada pula sesuatu yang tidak Nampak tetapi kita merasakan keberadaannya. Sesuatu inilah yang disebut dengan alam fisik dan metafisik. Alam fisik adalah alam yang dapat kita lihat dan kita rasakan dengan panca indra kita. 
       Sedangkan alam metafisik adalah alam yang ada dibaliknya dan tidak dapat dilihat dengan indra, bahkan rasio tak dapat menjangkaunya.  Bentuk dari alam fisik sudah jelas karena kita dapat melihatnya.Kebenaran atau sesuatu yang ada secara umum adalah sesuatu yang logis (rasional) dan indrawi. Kebenaran dalam islam bukan hanya berkutat pada otat dan indra saja. Namun islam juga mengakui adanya sesuatu yang nyata da nada. Kebenaran yang tidak dapat ditangkap oleh akal dan indra, namun ada variabel atau instrument lain yang sangat berpotensi melakukannya (hati/intuitif). Yang akan membuktikan bahwa hal itu atau metafisik adalah sesuatu yang empiri.

     B.     RUMUSAN MASALAH
a.       Bagaimanakah yang dinamakan sumber pengetahuan rasio/akal?
b.      Bagaimanakah yang dinamakan sumber pengetahuan indra?
c.       Bagaimanakah yang dinamakan sumber pengetahuan intuisi/hati?


  
BAB II
PEMBAHASAN 

 A.    Sumber Pengetahuan Rasio/Akal
Secara etimologi pengetahuan dapat diartikan epistemology.Epistemology berasal dari kata yunani, episteme dan logos.Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran dan logosdiartikan pikiran, kata atau teori.[1] Tema yang kerap kali muncul dalam filsafat adalah hubungan antara pikiran kita dan dunia. Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya akal dan ide, sedang peran indra dinomorduakan. Sebaliknya, empirisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran indra sebagai sumber dan alat untuk memperoleh pengetahuan, sedang peran akal dinomorduakan.
Akal menurut Iqbal, memiliki watak dasar untuk tidak begitu saja menerima keterbatasan dan terkurung dalam lingkaran sempit dirinya sendiri.[2] Menurut Plato, hasil pengalaman indra tidak bisa memberikan pengetahuan yang pokok. Selanjutnya ia mengatakan bahwa pengetahuan yang keluar atau bersumber pada indra diragukan kebenaran, karena sifatnya yang berubah-ubah dan tidak tetap. Bagi Plato, ide atau akal adalah alam yang sesungguhnya dan bersifat tetap, serta tidak berubah-ubah. (Amin Syukur,2002;62)
Aliran filsafat rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio).Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu dekat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah.Sedangkan pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh melalui akal.[3]
Pengetahuan rasional yaitu pengetahuan tentang sesuatu yang dapat diperoleh dengan mempergunakan akal bersifat universal, tidak parsial, bersifat immaterial, objeknya bukan individu tetapi genus dan spesies.Orang mengamati manusia sebagai yang diamati itu bersifat materi (jangkung, pendek, kulit hitam, bertangan, berkaki, dan sebagainya) dan orang tersebut mengamati manusia dengan akal pikiran, menyelidiki hingga memperoleh sesuatu konklusi yaitu manusia adalah makhluk yang berfikir. (Sudarsono, 1997;37)
Kaum yang menganut paham atau aliran rasionalisme yaitu Rene Descrates, W.G. Leibniz, dan Barukh Spinoza. Menurut Rene Descrates bahwa untuk sampai pada pengetahuan yang pasti dan tidak teragukan mengenai apa saja, kita perlu mengandalkan akal budi kita sebagai halnya dalam ilmu ukur. Oleh karena itu, kita perlu meragukan apa saja termasuk apa yang ditangkap oleh panca indera kita. Para rasionalisme berprinsip bahwa sumber pengetahuan akan secara terus menerus mencari kebenaran hingga keakar permasalahan. Aliran ini berusaha menghilangkan aspek pengamatan indrawi sebagai alat untuk mendapatkan kebenaran, tetapi mereka lebih menggunakan akal, tetapi juga tidak mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan. Indra diperlukan untuk merangsang akal manusia dan memberi bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja dengan baik.Menurut aliran ini keputusan-keputusan tentang kebenaran yang rasional dan dapat dibuktikan dengan konsisten logis proposisi kebenaran tersebut, maka itu dianggap sebagai kebenaran. (Sony Keraf,2001;45-47)[4]
Dan ayat-ayat lainnya yang banyak sekali tentang anjuran untuk bertafakkur. Al-Qur’an juga dalam membuktikan kebenaran Allah swt dengan pendekatan alam materi dan pendekatan akal murni seperti dalam surat al-Anbiya’ 22 :
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan”. Ayat ini menggunakan pendekatan rasional yang biasa disebut logika Aristotelian dengan silogisme hipotesis. Atau ayat lain dalam surat al-Zumar ayat 29 :
 ”Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki 8 (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui”.

B. Sumber pengetahuan indra
Indrawi dari asal kata indra yaitu alat atau bagian tubuh manusia yang berfungsi menerima rangsangan dan respon dari luar. Indrawi merupakan pengetahuan yang dimiliki manusia melalui kemampuan indra. Seperti adanya kasar-halus, gelap-terang, wangi-busuk, pelan-cepat, manis-pedas, dan segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra.
Anak –anak terlahir dalam kondisi tidak mengetahui apapun. Tidak lama kemudian indranya mulai berfungsi, dimana ia dapat merasa atas apa yang terjadi padanya dari pengaruh-pengaruh eksternal yang baru dan mengandung perasaan-perasaan yang berbeda sifatnya. Itulah dasar yang membentuk persepsi dan pengetahuannya terhadap alam luar.
Seorang empirisme biasanya berpendapat bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalamn. Pengetahuan tersebut diperoleh dengan panca indra. Jhon Locke sebagai bapak empirisme dari Britania mengatakan bahwa waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong. Didalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalamn indrawi (Juhaya S. Praja;1997;17)
Pengetahuan indrawi yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan atas sense (indra) atau pengalaman manusia setiap hari. Pengetahuan indrawi berbeda dengan pengetahuan rasional. Pengetahuan indrawi menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantara indra, sedangkan pengetahuan rasional menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantara akal, sedang peran indra dinomorduakan.[5]
Untuk memperoleh pengetahuan akal dan indra mempunyai keterkaitan, seseorang bekerja untuk memperoleh pengetahuan, potensi indralah yang mengambil peran paling besar. Didalam pencarian sains, indra dibantu oleh akal, sebanya ialah indra itu mempunyai keterbatasan. Dengan mengandalkan kemampuan indra semata, manusia tidak akan memperoleh sains yang bermutu tinggi, bahkan banyak yang salah.
Dalam mencari pengetahuan filsafat, akal juga memerlukan bantuan indra. Sekurang-kurangnya indra itu memberikan dorongan bekerja pada akal untuk memikirkan objek-objek yang tidak empiris. Sulit dibayangkan jika seseorang akan menghasilkan pengetahuan filsafat, seandainya ia tidak mempunyai alat indra satupun. Pada kenyataannya potensi itu saling membantu dalam pengetahuan.
Empiric indrawi adalah hasil pengalaman yang dapat ditangkap oleh panca indra. Ini merupakan penghayatan sensual.Penganut paham empirisme mengatakan sumber dari ilmu pengetahuan adalah pengalaman.Yang menekankan pentingnya eksperimen dalam pengetahuan ilmu ilmiah.
Sesungguhnya secara mudah dapat dipahami bahwa penginderaan itu memang menghasilkan suatu pengetahuan baru.Misalnya, orang mendapatkan pengetahuan bahwa “parfum itu baunya harum”.Ini berasal dari penciuman yang dilakukan manusia melalui indranya.
Allah swt berfirman dalam surat an-Nahl ayat 78 :
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
 Islam tidak hanya menyebutkan pemberian Allah kepada manusia berupa indra, tetapi juga menganjurkan kita agar menggunakannya, misalnya dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 101 Allah swt berfirman:7
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman"

C.    Sumber pengetahuan intuisi/hati
Pengetahuan intuitif secara epistemology berasal dari kata intuisi.Aliran yang membahas tentang intuisi adalah intuisionisme yang dipelopori oleh filosof perancis, Henry Bergson (1859-1941). Menurutnya, intuisi adalah semacam intelek yang lebih tinggi yang mampu memahami apa yang tidak mampu dipahami oleh akal. Intuisi diperoleh melalui pengamatan langsung , tidak mengenai obyek lahir malainkan mengenai kebenaran dan hakekat barang sesuatu.[6]
Para sufi menyebut pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam (dzauq) yang bertalian dengan persepsi batin. Pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan yang dikaruniakan Tuhan kepada seseorang dan dipatrikan pada kalbunya sehingga tersingkap olehnya sebagian rahasia dan tampak olehnya sebagian realitas.Hal itu diperoleh dengan jalan keshalehan, sehingga seseorang memiliki kebeningan kalbu dan wawasan spiritual prima.
Karakteristik pengetahuan intuitif menurutIbnu Arabi yaitu:
a.       Pengetahuan intuitif itu bersifat bawaan (Innate) karena merupakan limpahan Tuhan. Pengetahuan itu memanifestasikannya sendiri pada diri manusia dibawah kondisi-kondisi mistis tertentu dan bukan hasil dari praktek atau disiplin, ia terletak tidur didalam reses-reses terdalam dari hati manusia.
b.      Pengetahuan itu memanifestasikan dirinya didalam bentuk cahaya yang memenuhi setiap bagian dari hati sufi ketika ia mencapai derajat penyucian spiritual tertentu.
c.       Pengetahuan intuitif itu mematerialkan dirinya sendiri hanya didalam manusia tertentu, karena pengetahuan tersebut sangat bergantung pada anugrah Tuhan.
d.      Pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang sempurna tentang kodrat realitas yang diperoleh oleh seorang sufi.
Al-Ghazali menamakan pengetahuan intuitif dengan pengalaman ma’rifat.Menurutnya sarana pengetahuan intuitif/ma’rifat adalah qalb bukan indra/akal.Qalb menurutnya bukan bagian tubuh ynag terletak pada bagian kiri dada seseorang manusia melainkan merupakan realitas manusia serta menjadikan percikan rohaniah ketuhanan yang merupakan hakekat realitas manusia menjadi sasaran perintah, cela, hukuman, dan tuntutan dari Tuhan. Bagi seorang ilmuan sekuler, mungkin kalbu atau hati itu hanya dianggap sebagai sepotong daging yang memiliki fungsi biologis tertentu.memang benar demikian, kata Al-Ghazali dalam suatu pengertian.
Dalam pengertian kedua, kalbu adalah suatu roh ketuhanan yang halus.Ia mempunyai hubungan dengan hati yang jasadiyah tadi. Hubungan hati itu dengan manusia amat sulit dijelaskan. Didalam hati itu terkumpul dua kekuatan: kekuatan ilahiah (ketuhanan) dan kekuatan Syaithoniyah (kejahatan). Dua kekuatan ini saling berebut kekuasaan didalam hati.Kekuatan setan itu ialah marah dan syahwat, sedangkan kekuatan ilahiah itu ialah kekuatan yang mengajak kepada kebaikan. Kalau seseorang telah dikuasai oleh kekuatan syaithoniyah, ia akan menjadi jahat. Bila hatinya didominasi oleh kekuatan ilahiah, ia akan tenang (Q.S Ar-Ro’du:28). Hati itu ternyata pengendali utama manusia.Hati itu menjadi raja didalam hati manusia.[7]
Dalam Al qur’an Allah swt berfirman dalam surat al-Anfal 29 :
 ”Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami akan memberikan kepadamu Furqaan. dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar
Maksud ayat ini adalah Allah swt akan memberikan cahaya yang dengannya orang-orang yang beriman dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil, atau surat al-Baqarah ayat 282 :
”... dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
 Selanjutnya bagaimana cara mendapatkan kebenaran perspektif sufi dan filosof menjadi persoalan tersendiri. Menurut para sufi kebenaran yang didapatkan tidak perlu melalui usaha, akan tetapi lebih menitik beratkan pada kondisi hati dan psikologi seseorang. Jika hati seseorang telah mampu menerima cahaya Tuhan, maka tidak akan ada penghalang sedikitpun. Akan tetapi, dalam pandangan filosof untuk menyingkap kebenaran, diperlukan berbagai upaya maksimal. Hal ini berdasarkan tiga alasan :
1. Sulitnya cara yang biasa dilakukan para sufi,
2. Hasilnya tidak cepat dirasakan,
3. Sulit (jauh) mendapatkan persyaratan untuk mencapainya.
Pertentangan dua kutub tersebut di atas, menjadi ekstrim pada saat alGhzali hidup, dan juga menemukan momentumnya saat ini. Satu pihak sangat positivistik dengan mengagungkan logika, sebagai alat untuk mencapai kebenaran, di lain pihak sikap zuhud, dan tidak terlibat pada hal-hal duniawi menjadi fenomena tersendiri. Penulis meyakini, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sumber pengetahuan menurut al-Qur’an adalah indera dan atau akal, serta hati. Artinya kedua kutub tersebut dapat berpotensi mencapai kebenaran, akan sangat tergantung pada perspektif dan urgensi langkah yang dicapai. Sehingga dapat diambil sintesa dari kedua sumber pengetahuan tersebut.

ANALISIS
            Sumber pengetahuan atau dengan kata lain alat atau cara untuk mendapatkan pengetahuan itu menurut para ahli filsafat bisa dibagi menjadi tiga cara; masing-masing disebut dengan Empirisme, Rasionalisme, dan IntuisiWahyu.
            Sedangkan menurut al-Qur’an sumber pengetahuan itu ada indra dan atau akal serta hati. Islam tidak hanya menyebutkan pemberian Allah kepada manusia berupa indra atau akal, tetapi juga menganjurkan kita agar menggunakannya, sedang dengan hati Allah swt akan memberikan cahaya yang dengannya orangorang yang beriman dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil.
            Selanjutnya bagaimana cara mendapatkan kebenaran perspektif sufi dan filosof menjadi persoalan tersendiri. Menurut para sufi kebenaran yang didapatkan adalah tidak perlu melalui usaha, akan tetapi lebih menitik beratkan pada kondisi hati dan psikologi seseorang. Jika hati seseorang telah mampu menerima cahaya Tuhan, maka tidak akan ada penghalang sedikitpun. Akan tetapi, dalam pandangan filosof untuk menyingkap kebenaran, diperlukan berbagai upaya yang maksimal.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Jadi dapat di simpulkan bahwa sumber pengetahuan itu ada 3, yaitu ; akal/rasio, indrawi, dan intuisi/hati. Sumber pengetahuan akal/rasio adalah sumber pengetahuan yang di dapatkan dengan menangkap suatu fenomena yaitu, aspek realitas sebagaimana tampak melalui persepsi indrawi. Sedangkan sumber pengetahuan indrawi adalah sumber pengetahuan yang di dapatkan melalui alat-alat indra. Kemudian sumber pengetahuan intuisi adalah sumber pengetahuan yang membawa manusia kepada kontak langsung dengan realitas yang tidak terbuka bagi persepsi indrawi.

DAFTAR PUSTAKA
            Abbas Hammami, 1982 ,Epistemologi Bagian I Teori Pengetahuan, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta,
            Donny Gahral Adian, 2003, Muhammad Iqbal, Teraju, Jakarta,
            Fathul Mufid, 2008,  Filsafat Ilmu Islam, PSSB STAIN Kudus, Kudus
            Noeng Muhadjir, 2001, Filsafat Ilmu, Rakesarasin, Yogyakarta
            Ulya, 2009, Filsafat Ilmu Pengetahuan, STAIN Kudus, Kudus



[1]Abbas Hammami,Epistemologi Bagian I Teori Pengetahuan, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982, hal; 1
[2] Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal, Teraju, Jakarta, 2003, hal; 70
[3] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Rakesarasin, Yogyakarta, 2001, hal. 168
[4]Fathul Mufid, Filsafat Ilmu Islam, PSSB STAIN Kudus, Kudus, 2008, hal; 148-149
[5] Ibid, hal; 152
[6] Ulya, Filsafat Ilmu Pengetahuan, STAIN Kudus, Kudus, 2009, hal; 82
[7] Fathul Mufid, Filsafat Ilmu Islam, PSSB STAIN Kudus, Kudus, 2008, hal; 152-155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar