PROPOSAL PENDIDIKAN :
PERAN WAKIL KEPALA BIDANG HUMAS
DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI SOSIAL GURU
DI MA MIFTAHUT THULLAB PUTATSARI GROBOGAN
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sekolah atau
madrasah adalah salah satu organisasi pendidikan yang mempunyai suatu kekuatan
untuk membantu dan mengantarkan peserta didik menuju cita-cita yang mereka
harapkan. Madrasah yang baik adalah madrasah yang bisa mencetak siswa-siswa
yang berprestasi tinggi dan dapat memanfaatkan guru-guru yang berkualitas baik
serta mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sekitar sehingga visi dan misi
yang telah disusun bisa terealisasi dengan baik sesuai dengan yang mereka
harapkan.
Realitas
sekarang begitu banyak lembaga yang tidak bisa memfungsikan manajemennya dengan
baik. Memang pada awalnya mereka benar-benar berusaha merencanakan manajemennya
dengan sangat baik, akan tetapi pada akhirnya hasil yang mereka peroleh tidak
sesuai dengan hasil yang mereka harapkan. Bahkan tidak sedikit lembaga yang
merasa kesulitan untuk merealisasikan rencana yang sudah mereka buat sendiri.
Hal ini merupakan salah satu penyebab sebuah lembaga bisa tertinggal dengan
lembaga-lembaga yang lain. Walaupun demikian, tidak sedikit pula lembaga yang
berhasil mengatur manajemennya dengan sangat baik dan hasil yang mereka
perolehpun sesuai dengan yang mereka harapkan, yang pada akhirnya lembaga
tersebut bisa berkembang dengan pesat.
Upaya
menciptakan para peserta didik yang berkualitas diperlukan upaya guru yang
maksimal dalam proses mendidiknya. Jadi peran guru sangat sentral dalam
perkembangan peserta didik. Oleh karenanya kualitas atau kompetensi guru harus
diutamakan dan diberdayakan. Dalam rangka pemberdayaan peningkatan kompetensi
guru, wakil kepala madrasah bidang humas mempunyai peran atau tanggung jawab
terhadap kualitas guru.
Menurut Jerry Dalton, salah seorang manajer
komunikasi di perusahaan Aircraft Company, bahwa humas memiliki peranan
penting dalam menjalin komunikasi di suatu instansi atau lembaga.[1] Jerry menegaskan bahwa
ketika berbicara tentang humas (public relation) maka kata
kuncinya ialah komunikasi. Komunikasi ialah salah satu ilmu terapan yang
mempunyai tujuan memecahkan masalah-masalah praktis, yang langsung dapat
dirasakan guna dan manfaatnya secara sosial.[2] Begitu pentingnya humas,
meskipun sekadar fungsi meningkatkan citra dan reputasi organisasi di mata stakeholder-nya,
dalam menjaga reputasinya itu organisasi tersebut menjalankan community
relation perwujudan dari tanggung jawab sosial organisasi.
Hubungan masyarakat
(humas) merupakan kegiatan mengkomunikasikan kebijakan seseorang atau lembaga
ke dalam maupun ke luar dengan tujuan membina hubungan baik dan berarti dengan
publik.[3] Jika asumsinya demikian,
maka hipotesa Jerry Dalton bisa dibenarkan secara relatif atas dasar aktivitas
humas sebagai wahana integrasi internal dan eksternal dalam suatu organisasi.
Sekolah, sebagai
salah satu organisasi yang berbasis pendidikan, ukuran
kinerja atau keberhasilan menghasilkan lulusan yang berkualitas ditentukan oleh banyak faktor, antara lain: pengelolaan manajemen, guru,
fasilitas pembelajaran, sarana prasarana dan karakteristik siswa (sebagai row
input).[4]
Oleh hal tersebut, guru merupakan salah satu unsur penting dalam menentukan
kualitas lulusan pendidikan.
Melihat
pendidikan sebagai investasi jangka panjang untuk membangun dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, kiranya penting untuk mengkaji kompetensi guru yang
diorientasikan pada asumsinya sebagai kemampuan adaptif dengan lingkungan
sosial kerja seorang guru sehingga mampu mengaktualisasikan dirinya, karena
pada akhirnya kemampuan tersebut menjadi tolak ukur untuk menentukan kualitas
guru tersebut. Kemampuan (kompetensi) tersebut, menurut Suwarna, sebenarnya
secara implisit tercakup dalam penguasaan kompetensi mengajar. Dalam arti,
seorang guru dengan kompetensi mengajar yang baik dan bertanggung jawab
diasumsikan akan secara simultan menguasai kompetensi profesional dan
kompetensi sosial.[5]
Penjabaran
kompetensi guru, menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 14 tahun 2005
tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, disebutkan mencakup 4 (empat)
dimensi, yang salah satunya ialah dimensi komunikasi sosial: “kemampuan guru
untuk berkomunikasi serta berinteraksi secara efektif dan efisien dengan
peserta didik, sesama guru, orang tua atau wali, dan masyarakat sekitar”,[6] yang diterjemahkan oleh
beberapa ahli sebagai: “kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar
berhasil dalam berhubungan dengan orang lain, dan kompetensi sosial ini
termasuk keterampilan dalam interaksi sosial dalam melaksanakan tanggung jawab
sosial.”[7]
Berdasarkan
penjabaran tersebut, kompetensi sosial guru dalam penelitian ini akan diukur
melalui 5 (lima) indikator: interaksi guru dengan siswa, interaksi guru dengan
kepala sekolah, interaksi guru dengan rekan kerja, interaksi guru dengan orang
tua siswa, dan interaksi guru dengan
masyarakat
Organisasi
(termasuk di dalamnya ialah sekolah dalam dimensi ke-humas-an) jika dipahami
sebagai jaringan komunikasi, maka titik berat kajian terhadap organisasi
tersebut ialah pada kajian mengenai cara-cara manajemen menggunakan jaringan
formal untuk mencapai tujuan organisasi.[8] Artinya, dalam muara potitional
tradition—seperti istilah yang dikemukakan Pawito—di organisasi tersebut
ketika kedudukan humas memiliki legitimate dalam komunikasi yang
diprakarsai dan disampaikannya kepada seluruh komponen organisasi yang
bersinggungan secara langsung dengan row input di dalam kelas maupun
lingkungan sekolah maka pencapaian kinerja organisasinya dapat berjalan dengan
baik.[9]
Tarik ulur hubungan
humas dengan guru dalam organisasi pendidikan, ialah pada dominasi humas dalam
pengaruhnya menjalankan peran dan fungsinya di organisasi tersebut. Dengan kata
lain, jika humas ditempatkan sebagai sub departemen yang berbeda dalam
organisasi pendidikan (bukan koalisi dominan yang paling puncak), maka akses
langsung humas terhadap segala aktivitas dan program pendidikan yang
bersinggungan langsung dengan guru tidak akan berfungsi secara maksimal. Hal
ini merujuk pada fungsi humas sebagai penasehat bagi organisasi yang
diwakilinya dan ikut serta dalam pemecahan berbagai persoalan pembelajaran yang
lebih menekankan pada fungsi bagian humas sebagai pencari informasi yang
digunakan untuk bahan manajemen pembelajaran yang notabene adalah ranah guru.[10]
Humas bekerja dalam
susunan organisasi dan kompleksitas sistem organisasi pendidikan, dan mempunyai
skema organisasi tersendiri. Puncak hierarki skema organisasi pendidikan ada
pada kepala sekolah yang membawahi wakil-wakil bidang tertentu yang mempunyai
tugas berbeda namun berbagi prinsip yang sama. Ketika humas dijabarkan sebagai
salah satu komponen organisasi, maka dalam struktur organisasi pendidikan
(sekolah) humas secara formal dipegang secara penuh peran dan fungsinya sebagai
nama wakil kepala (waka) bagian humas yang bekerja dibawah kepala organisasi
pendidikan (Kepsek). Belum optimalnya
kinerja guru MA Miftahut Thullab Putatsari Grobogan salah satunya diduga karena
penguasaan kompetensi yang harus dikuasai guru masih belum optimal.
Menyadari akan
pentingnya hal tersebut, sekaligus agar guru MA Miftahut Thullab Putatsari
Grobogan menerima informasi yang jernih dan berimbang, MA Miftahut Thullab
Putatsari Grobogan mulai berbenah diri dengan melibatkan bagian humasnya secara
langsung dengan guru dalam konteks pembelajaran pendidikan di lembaga
pendidikan formal tersebut. Melihat MA Miftahut Thullab Putatsari Grobogan
sebagai komponen yang melayani pesan-pesan pendidikan masyarakat lingkungannya,
berdasarkan hal ini antara masyarakat (yang anak-anak mereka dititipkan ke MA
Miftahut Thullab Putatsari Grobogan) dan MA Miftahut Thullab Putatsari Grobogan
memiliki hubungan rasional berdasarkan kepentingan dari kedua belah pihak
dimana pesan-pesan mutualisme tersebut dicerna oleh humas sebagai mandat yang
harus disampaikan kepada guru-guru yang mengajar secara langsung anak-anak
masyarakat.
Menyadari
kestrategisan peran guru dalam pencapaian tujuan pendidikan, serta melihat
posisi MA Miftahut Thullab Putatsari Grobogan sebagai lembaga pendidikan yang
berkomitmen melahirkan output yang berkualitas dengan humas sebagai
penerima pesan-pesan pendidikan dari lingkungan masyarakat, maka penulis
tertarik untuk meneliti dan mendalami peran
wakil kepala bidang humas dalam kaitannya meningkatkan kompetensi sosial
guru dalam karya ilmiah dengan judul: Peran Wakil Kepala Bidang Humas dalam
Meningkatkan Kompetensi Sosial Guru di MA Miftahut Thullab Putatsari Grobogan.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian
ini ialah peran wakil kepada bidang hubungan masyarakat (humas) dalam
meningkatkan kompetensi sosial guru di MA. Miftahut Thullab Putatsari Grobogan.
Adapun yang dimaksud kompetensi sosial dalam skripsi ini meliputi kompetensi
sosial guru dalam bidang komunikasi lisan dan tulisan.
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apa saja program kerja wakil
kepada bidang humas dalam meningkatkan kompetensi sosial guru di MA. Miftahut
Thullab Putatsari Grobogan?
2.
Bagaimana strategi wakil kepala bidang humas dalam meningkatkan kompetensi
sosial guru di MA. Miftahut Thullab Putatsari Grobogan?
3.
Bagaimana implementasi dari program kerja dan strategi wakil kepala bidang
humas dalam meningkatkan kompetensi sosial guru di MA. Miftahut Thullab
Putatsari Grobogan?
D. Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan
permasalahan yang telah tersebutkan di atas, maksud dari penulisan ini ialah:
1. Untuk mengetahui program
kerja wakil kepala bidang humas dalam meningkatkan kompetensi sosial guru di
MA. Miftahut Thullab Putatsari Grobogan.
2. Untuk mengetahui strategi
wakil kepala bidang humas dalam meningkatkan kompetensi sosial guru di MA.
Miftahut Thullab Putatsari Grobogan.
3. Untuk mengetahui implementasi
dari program kerja dan strategi wakil kepala bidang humas dalam meningkatkan
kompetensi sosial guru MA. Miftahut Thullab Putatsari Grobogan.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini tentunya ada
beberapa manfaat, sebagaimana yang tertuang berikut ini:
1.
Secara teoritis,
Secara teoritis penelitian ini memberikan ilmu
pengetahuan untuk mengembangkan wawasan di bidang kehumasan dalam meningkatkan
kompetensi sosial guru.
2.
Secara praktis
a.
Bagi sekolah,
Bagi sekolah, hasil penelitian ini duharapkan
dapat menjadikan media atau sarana informasi kepada masyarakat secara umum
terkait kompetensi sosial guru. Serta Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran wakil kepala bidang humas dalam mengambil
kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan kompetensi sosial guru.
b.
Bagi guru,
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjalin
komunikasi yang konstruktif antar sesama guru, pihak sekolah, masyarakat, siswa
serta dari humas sendiri dalam rangka peningkatan kompetensi sosial guru.
c.
Bagi masyarakat,
Bagi masyarakat diharapkan hasil penelitian ini
dapat menjadikan kazanah atau wawasasannya terkait kualitas atau kompetensi
yang dimiliki oleh guru tersebut bisa diketahui secara langsung oleh
masyarakat.
d.
Bagi siswa
Bagi siswa diharapkan dengan adanya penelitian ini
mampu membangun komunikasi yang bersifat pembelajaran kepada para gurunya.
e.
Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna
dalam menambah wawasan pengetahuan dalam bidang penelitian dan khususnya
pengetahuan tentang peran wakil kepala bidang humas dalam meningkatkan
kompetensi sosial guru.
BAB II
WAKIL KEPALA BIDANG
HUMAS DAN KOMPETENSI SOSIAL GURU
A.
Humas dalam Lembaga Pendidikan Formal sebagai
Wakil Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Waka Humas)
1.
Konsep dasar humas dalam suatu organisasi
Istilah humas, yang secara sederhana diterjemahkan
sebagai public relation, pertama kali diperkenalkan pada tahun 1807 oleh
presiden Amerika Serikat yang bernama Thomas Jefferson. Barulah sekitar awal
abad ke-20 Edward L. Bernays memberikan asumsi-asumsi ilmiah tentang public
relation dalam kuliahnya. Pada waktu itu public relation masih
dipahami secara tradisional, dan dipersepsikan sesuai background teknik,
industry, sosial, ekonomi, dan budaya penerjemahnya. Dalam bayangan mereka,
suatu kelompok, bagaimanapun peran kehidupannya, memerlukan kerjasama kolektif
karena dipandang sangat penting dan dibutuhkan. Kerjasama semacam inilah yang
kemudian diistilahkan sebagai public relation, atau humas.[11]
Karena beberapa hal, definisi yang pasti tentang
humas (public relation) sampai sekarang belum disepakati. Terkadang, public
relation tidak diterjemahkan sebagai humas, atau humas dalam konsentrasi
tertentu diterjemahkan sebagai media relation, bukan public relation itu
sendiri. Sulitnya mendapatkan definisi yang sama tentang humas, atau setidaknya
banyaknya definisi tentang humas, dikarenakan satu alasan: adanya indikasi baik
teoritis maupun praktis bahwa kegiatan humas bersifat dinamis dan fleksibel
terhadap perkembangan masyarakat, sehingga definisinya tak bisa tidak terus
berkembang dan dinamis pula.
Namun tidak menjadi soal ketika memaparkan
definisi humas menurut beberapa ahli dari berbagai latar belakang pendidikan, sosial,
budaya, dan ekonomi tertentu. Seperti The British Institute of Public
Relations menegaskan bahwa humas ialah aktivitas pengelolaan komunikasi
antara organisasi dan publiknya.[12] Oemi Abdurrahman
mengartikan humas sebagai kegiatan untuk menanamkan dan memperoleh pengertian,
dukungan, dan kepercayaan serta penghargaan pada dan dari publik, pada
khususnya, atau masyarakat pada umumnya.[13] Sementara International
Public Relations Association (IPRA) memberikan gambaran humas sebagai suatu
fungsi manajemen yang berlangsung terus menerus dengan menjalin dan memelihara
rasa saling percaya yang ada kaitannya dengan dirinya melalui komunikasi.[14]
Konsep fungsional humas dalam suatu organisasi
apapun, tergambar dalam rumusan sebagai berikut: pertama, menunjang
kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan organisasi, kedua, membina
hubungan harmonis antara organisasi dan publik, baik publik internal maupun
publik eksternal, ketiga, menciptakan komunikasi dua arah dengan
menyebarkan informasi dari organisasi kepada publik dan menyalurkan opini
publik ke organisasi, keempat, melayani publik dan menasehati pimpinan
organisasi demi kepentingan bersama.[15]
Sedangkan menurut Rex Harlow fungsi humas yang
khas ialah mendukung:[16]
a.
Pembinaan dan pemeliharaan jalur
bersama antara organisasi dengan publiknya mengenai komunikasi, pengertian,
penerimaan dan kerja sama,
b.
Melibatkan manajemen dalam permasalahan dan persoalan.
c.
Membantu manajemen menjadi tahu dan tanggap terhadap opini publik.
d.
Menetapkan dan menekankan tanggung jawab manajemen untuk melayani
kepentingan publik,
e.
Mendukung manajemen dalam mengikuti dan memanfaatkan perubahan secara
efektif,
f.
Bertindak sebagai sistem peringatan dini dalam membantu mengantisipasi
kecenderungan dan menggunakan penelitian secara teknik komunikasi yang sehat
dan etis sebagai saran utama
2.
Tinjauan umum tentang wakil kepala bidang humas (waka humas)
Tentang tujuan utama yang ingin dicapai dengan
memberikan posisi dan peran tertentu pada humas dalam lembaga pendidikan
formal, yang selanjutnya dalam struktur organisasi lembaga pendidikan
diperankan secara fungsional oleh wakil kepada bidang hubungan masyarakat (waka
humas), dapat dilihat dari rangkaian berikut ini:[17]
a.
Waka humas bertanggung jawab dalam meningkatkan pemahaman masyarakat
tentang tujuan dan sasaran yang ingin direalisasikan sekolah.
b.
Waka humas bertanggung jawab dalam meningkatkan pemahaman sekolah tentang
keadaan dan aspirasi masyarakat terhadap sekolah.
c.
Waka humas bertanggung jawab dalam menggalang usaha orang tua dan guru
dalam memenuhi kebutuhan anak didik serta meningkatkan kualitas dan kuantitas
bantuan orang tua murid dalam kegiatan pendidikan di sekolah.
d.
Waka humas bertanggung jawab dalam mengembangkan kesadaran masyarakat
tentang pentingnya peranan pendidikan di sekolah dalam era pembangunan.
e.
Waka humas bertanggung jawab dalam membangun dan memelihara kepercayaan
masyarakat terhadap sekolah.
f.
Waka humas bertanggung jawab dalam memberi tahu masyarakat tentang
pertanggung jawaban sekolah atas harapan yang dilakukan sekolah.
Bertanggung jawab secara langsung kepada kepala
sekolah atau kepala madrasah, waka humas menyesuaikan kewajiban dan haknya
sebagai salah satu komponen organisasi pendidikan dan bersinggungan secara
langsung pada 3 (tiga) fungsi utamanya: [18]
a.
Menilai dan menentukan pendapat umum yang berkaitan langsung dengan
organisasi pendidikannya,
b.
Memberikan saran kepada pimpinan organisasi pendidikan tentang cara-cara
mengendalikan pendapat umum sebagaimana mestinya,
c.
Menggunakan komunikasi untuk mempengaruhi pendapat umum tersebut.
Kegiatan waka humas menjadi sangat penting dalam
lembaga pendidikan formal karena memegang peran penting dalam komunikasi dua
arah. Selain bertanggung jawab dalam memberikan nasehat menerapkan setiap
kebijakan yang pada akhirnya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap
organisasi pendidikan yang dipublikasikannya, waka humas juga diperintahkan
agar memperkerjakan praktisi-praktisi dalam struktur organisasi waka humas itu
sendiri yang terlatih dan berbasis profesi (professional).[19]
Komunikasi dua arah yang berusaha dibangun waka
humas meliputi ‘masyarakat dalam’ (komunikasi internal) serta ‘masyarakat luar’
(komunikasi eksternal) yang ada urusannya dengan organisasi pendidikan yang
dibina waka humas agar tercipta komunikasi dua arah ‘masyarakat’ tersebut
secara harmonis. Masyarakat dalam yang menjadi urusan waka humas terdiri atas
orang-orang yang bergiat dalam organisasi pendidikan tempat waka humas bekerja
yang secara fungsional mempunyai tugas dan pekerjaan, serta hak dan kewajiban
tertentu. Contoh warga masyarakat dalam tersebut ialah staf wakil kepala
bidang-bidang tertentu yang bekerja dibawah kepala sekolah, komite sekolah,
staf dewan guru beserta seluruh murid. Sedangkan masyarakat luar terdiri atas
orang-orang diluar organisasi pendidikan, baik yang ada kaitannya dengan
sekolah (organisasi pendidikan tersebut) maupun yang diharapkan atau diduga
ada/akan ada kaitannya dengan organisasi pendidikan.
3.
Tinjauan tentang tujuan dan manfaat dari humas
Menurut Sutjipto dan Bashori dalam bukunya B.
Suryobroto bahwa tujuan utama yang ingin dicapai dengan mengembangkan kegiatan
humas di sekolah adalah sebagai berikut :
a.
Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang tujuan dan sasaran yang ingin
direalisasikan sekolah
b.
Meningkatkan pemahaman sekolah tentang keadaan dan aspirasi masyarakat
terhadap sekolah
c.
Menggalang usaha orang tua dan guru dalam memenuhi kebutuhan anak didik
serta meningkatkan kualitas dan kuantitas bantuan orang tua murid dalam
kegiatan pendidikan di sekolah
d.
Mengembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya peranan pendidikan di
sekolah dalam era pembangunan
e.
Membangun dan memelihara kepercayaan masyarakat terhadap sekolah
f.
Memberi tahu masyarakat tentang pertanggungjawaban sekolah atas harapan
yang dibebankan masyarakat serta memberi tahu semua kegiatan yang dilakukan
sekolah
g.
Mencari dukungan dan bantuan dari masyarakat dalam memperoleh sumber-sumber
yang diperlukan untuk meneruskan dan meningkatkan program sekolah.[20]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan
penyelenggaraan hubungan sekolah dengan masyarakat adalah :
a.
Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai sekolah
b.
Meningkatkan pemahaman sekolah tentang keadaan dan aspirasi masyarakat
terhadap sekolah
c.
Mengembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya peranan pendidikan
dalam era pembangunan
d.
Menjalin kerja sama untuk memenuhi kebutuhan anak didik dalam kegiatan
pendidikan di sekolah.
Terjadinya hubungan yang baik antara sekolah dan
orang tua murid serta masyarakat akan bermanfaat bagi sekolah, orang tua murid
dan anak didik sendiri.
a.
Manfaat bagi sekolah
1)
Memudahkan sekolah untuk memperbaiki kondisi pendidikan
2)
Memperbesar usaha meningkatkan profesi staf sekolah terutama guru
3)
Menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sekolah sehingga sekolah mendapat
bantuan dan dukungan masyarakat serta memperoleh sumber-sumber yang diperlukan
untuk meneruskan dan meningkatkan program sekolah.
b.
Manfaat bagi masyarakat dan orang tua murid
1)
Masyarakat akan mengetahui semua hal tentang persekolahan beserta
inovasinya
2)
Masyarakat akan mengetahui semua kegiatan yang dilakukan sekolah dalam
melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan masyarakat
3)
Masyarakat dapat menyalurkan pasrtisipasinya.
c.
Manfaat bagi anak didik
1)
Pengetahuan yang belum diperoleh di sekolah dapat diperoleh dari masyarakat
dan orang tua
2)
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di sekolah dapat diaplikasikan
di masyarakat
3)
Anak didik akan belajar di masyarakat, mengingat waktu yang disediakan
sekolah berkisar tujuh jam.[21]
4.
Tinjauan tentang kelengkapan keahlian wakil kepala bidang humas
Dalam konsep idealnya, dalam organisasi
pendidikan, kemapanan struktur organisasinya yang melangsungkan wacana
keberlangsungannya secara sistemik akan menyelesaikan tujuan pendidikan secara
efektif. Oleh karena itu wakil kepala bidang humas mempunyai 4 (empat)
kelengkapan mendasar yang diharapkan sesuai dengan biaya, personel, dan waktu
yang direncanakan, yaitu:[22]
a.
Bagian administrasi dan keuangan
Bagian wakil kepala bidang humas yang mengurusi
sirkulasi keuangan dan administrasi dari organisasi wakil kepala bidang humas
itu sendiri.
b.
Bagian marketing
Mengurus hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan pemasaran dan propaganda. Pada dasarnya berkutat pada
analisis pasar dan daya minat masyarakat terhadap organisasi pendidikan
tersebut, perencanaan tawaran sarana, program pendidian, media pembelajaran,
dan lain-lain kepada masyarakat luar dan mempromosikannya.
c.
Bagian publishing
Muara kinerjanya ada pada pekerjaan-pekerjaan di
bidang redaksional, seperti pengumuman kepada masyarakat luar maupun dalam, dan
me-blowup berbagai hasil karya masyarakat dalam organisasi pendidikan
tersebut seperti menerbitkan buletin, edaran, majalah, dan lain-lain yang
merupakan produk komponen organisasi pendidikan.
d.
Bagian dokumentasi dan statistik
Seperti yang terkesan dari namanya, bagian ini
mengurusi pekerjaan-pekerjaan di bidang statistik dan laporan, mengumpulkan
data dari berbagai organisasi pendidikan, menyusun, dan mengolahnya kedalam
susunan-susunan statistikal. Bagian ini juga mengurusi daftar dan draft
bahan-bahan bacaan yang diperlukan perpustakan sekolah untuk dipelajari maupun
dipinjamkan kepada guru dan siswa sekolah.
Sebagai sebuah manajemen, wakil kepala bidang
humas menjalankan fungsinya mencapai tujuan organisasi pendidikan yang
memperkerjakannya melalui beberapa tahapan:[23]
a.
Perencanaan
Dalam tahap perencanaan ini meliputi penentuan
tujuan dan standar, penentuan aturan dan prosedur, pembuatan prediksi apa yang
akan terjadi,
Adapun kegunaan dalam suatu perencanaan adalah
sebagai berikut;
1) Untuk membedakan arah dari
setiap kegiatan dengan jelas sehingga hasil yang diperoleh bisa seefektif dan
seefisien mungkin.
2) Untuk mengevaluasi setiap
tujuan-tujuan yang sudah dilakukan sehingga penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi sehingga bisa dihindari lebih awal.
3) Memudahkan pelaksanaan
kegiatan untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan yang mungkin muncul sehingga
sehingga lebih waspada dan dan dapat diselesaikan dengan cepat.
b.
Pengorganisasian
Nanang Fatah dalam
bukunya Landasan Manajemen Pendidikan menyebutkan bahwa; Istilah organisasi mempunyai dua pengertian
umum. Pertama, organisasi diartikan sebagai suatu lembaga atau kelompok
fungsional, misalnya sebuah perusahaan, sebuah sekolah, sebuah perkumpulan,
badan-badan pemerintahan. Kedua, merujuk pada proses pengorganisasian
yaitu bagaimana pekerjaan diatur dan dialokasikan diantara para anggota,
sehingga tujuan organisasi tersebut dapat tercapai secara efektif.[25]
Dari pengertian
tersebut dapat diketahui bahwa pengorganisasian pada intinya merupakan proses
pembagian kerja kedalam tugas-tugas yang lebih kecil, membebankan tugas-tugas
itu kepada orang yang sesuai dengan kemampuannya, dan mengalokasikan sumber
daya, serta mengkoordinasikannya dalam rangka efektivitas pencapaian tujuan
organisasi.
Dengan demikian
diketahui bahwa unsure-unsur dasar pembentuk organisasi ada beberapa yaitu pertama,
Adanya tujuan bersama, kedua adanya dua orang atau lebih, ketiga adanya
pembagian kerja yang jelas, keempat adanya kerja sama yang baik.
c.
Kepemimpinan
Pemimpin pada
hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi orang
lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan
untuk mengarhkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang
harus dilaksanakannya.[26]
Sedangkan Stoner
mengemukakan bahwa kepemimpinan manajerial dapat diartikan sebagai suatu proses
pengarahan dan pemberian pengaruh kepada kegiatan-kegiatan dari sekelompok
anggota yang saling berhubungan tugasnya. Ada 3 implikasi penting dari
pengertian tersebut yaitu pertama, kepemimpinan menyangkut orang
lain-bawahan atau pengikut. Disini terdapat unsure kesediaan bawahan untuk
menerima pengarahan dari pemimpin. Kedua, Kepemimpinan menyangkut suatu
pembagian kekuasaan yang tidak seimbang. Disini pemimpin mempunyai wewenang
untuk mengarahkan bawahan, akan tetapi bawahan tidak dapat mengarahkan kegiatan
pemimpin. Ketiga, selain dapat memberikan pengarahan kepada bawahan,
pemimpin juga dapat mempergunakan pengaruh. Dengan kata lain, pemimpin tidak
hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan, akan tetapi juga dapat
mempengaruhi bawahan melaksanakan perintahnya.[27]
Dari beberapa hal
tersebut diatas, diketahui bahwa bagaimana pemimpin berperilaku akan sangat berpengaruh
terhadap roda organisasi yang mana tingkah laku tersebut akan banyak
dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuannya, nilai-nilai dan pengalaman
mereka.
d.
Pengkomunikasian; rencana-rencana dan berbagai prediksi yang sudah disusun
kemudian dikomunikasikan dengan semua pihak yang bersangkutan dengan metode
yang sesuai,
e.
Pengawasan
Tak dapat disangkal
bahwa pengawasan adalah salah satu fungsi manajemen yang sangat penting demi
tercapainya tujuan organisasi. Supaya pengawasan yang dilakukan dapat efektif, maka
haruslah terkumpul data-data dan fakta-fakta yang bersangkutan. Beberapa cara
mengumpulkan fakta tersebut diantaranya;
1) Peninjauan Pribadi. Dalam hal
ini pemimpin mengadakan peninjauan (melihat sendiri) kegiatan yang
dilakukan oleh bawahannya.
2) Interview atau lisan. Ketika
bawahan melaporkan hasil kerjanya, pemimpin langsung menanyakan sendiri apa
yang ingin diketahuinya.
3) Laporan tertulis. Disini
pemimpin bisa melihat laporan pertanggungjawaban hasil kerja bawahannya.
4) Laporan dan pengawasan kepada
hal-hal yang bersifat istimewa, misalnya ketika terjadi kekeliruan atau
ketidakwajaran dsb.[28]
Setelah fakta dan
data tersebut terkumpul pengawasan baru bisa dilakukan melalui tiga proses
sebagai berikut;
1) Menetukan dan menetapkan
standart.
Standar disini bisa
dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu Pertama standart fisik: kualitas
dan kuantitas hasil produksi dan waktu, Kedua Standart biaya, standar
penghasilan dan standar deviasi, Ketiga standar intelegible yaitu
standar yang tidak bisa diukur dengan bentuk fisik maupun bentuk uang.
2) Evaluasi.
Untuk mengetahui
sejauh mana keberhasilan hasil kerja maka perlu adanya evaluasi. Evaluasi bisa
dilakukan dengan melihat laporan tertulis maupun laporan langsung dari bawahan
kepada atasan. Karena evaluasi bertujuan menilai aspek keberhasilan dan
kegagalan, menganalisa sebab-sebabnya, menyimpulkan apa yang sudah dicapai,
menentukan faktor pendukung dan penghambatnya
3) Tindakan perbaikan.
Perbaikan tindakan
dilakukan supaya tujuan pengawasan bisa direalisir dengan baik ssuai dengan
harapan.
B.
Tinjauan tentang Konsep Kompetensi Sosial Guru
Sebelum membahas mengenai kompetensi sosila guru,
lebih kiranya akan dibahas terlebih dahulu mengenail kompetensi guru secara
umum.
a.
Kompetensi Guru
1. Pengertian
Kompetensi Guru
Kompetensi
diartikan sebagai seperangkat pengetahuan, keterampilan , dan perilaku yang
harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan
tugas keprofesionalan.[29]
Sedangkan menurut Nana Sudjana kurang lebih berpendapat bahwa kompetensi adalah
kemampuan dasar yang dimiliki oleh seseorang.[30]
Sedangkan
guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya,
profesinya) mengajar.[31] Sehingga
kompetensi guru diartikan sebagai kemampuan dasar seorang guru untuk menentukan
atau menjalankan profesinya (mengajar) yang dilandasi dengan pendidikan
keahlian.
Kompetensi
guru dalam Buku Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar meliputi 4 hal,
yaitu :
a. Mempunyai
pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia.
b. Mempunyai
pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya.
c. Mempunyai
sikap yang tepat tentang diri sendiri dan sekolah, teman sejawat dan bidang
studi yang dibinanya.
Dari
beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kompetensi guru adalah kemampuan dasar seorang guru untuk menjalankan tugasnya
(profesinya) yang ditandai dengan pendidikan keahliannya.
2. Macam-macam
Kompetensi yang harus dimiliki Guru
Tim penyusun Ditjen
Binbaga Islam Depag RI, merumuskan bahwa secara garis besar ada dua jenis
kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru agar mampu melaksanakan
tugasnya sebagai pendidik dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu kompetensi
utama dan kompetensi penunjang.
a.
Kompetensi Utama
1)
Kemampuan Akademik
Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang guru harus
mendalam terutama meliputi antara lain hal-hal berikut ini :
a)
Memahami dengan baik dasar-dasar psikologi dan sosiologi pendidikan.
b)
Memahami karakter dan perkembangan psikologis, sosiologis, dan akademik
setiap anak didik.
c)
Memahami cara mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan
spiritual anak didik.
d)
Memahami kurikulum yang berlaku secara utuh, terutama menyangkut mata
e)
Pelajaran yang menjadi bidang tugasnya
f)
Memahami metode pembelajaran yang paling tepat dan mutakhir.
g)
Memahami perencanaan, proses, dan evaluasi belajar yan tepat.
h)
Memahami cara penggunaan media dan sumber belajar secara tepat.
i)
Memahami tujuan pendidikan Nasional, khusunya tujuan pendidikan dan
pengajaran sesuai dengan tingkatannya.
2)
Kemampuan Menciptakan Suasana Belajar Yang Kondusif
Kemampuan ini meliputi antara lain hal-hal sebagai
berikut :
a)
Menciptakan lingkungan sekolah yang saling menghormati dan menghargai
b)
Menanamkan agar siswa memberi penghargaan yang tinggi terhadap ilmu dan
belajar.
c)
Menumbuhkan sikap dan sifat yang positif
d)
Melibatkan siswa secara maksimal dalam proses pembelajaran
e)
Menggunakan berbagai pendekatan dalam pengajaran.
b.
Kompetensi Pendukung
1)
Kemampuan Membangun Hubungan
Komunikasi Kemampuan
ini meliputi :
a)
Mengutamakan kerja kolaboratif dan kolektif sesama guru dan warga sekolah
lainnya.
b)
Membangun lingkungan kerja yang sehat (healthy relathionship).
c)
Menjaga komuikasi dengan orang tua siswa dan masyarakat.
d)
Menempatkan kesuksesan setiap siswa sebagai tujuan dari setiap langkah yang
diambil.
2)
Kemampuan Kepemimpinan (leadership)
Aspek kepemimpinan yang perlu dimiliki oleh guru
meliputi antara lain:
a)
Mendorong anak didik untuk tidak bergantung pada orang lain dalam belajar.
b)
Menunjukkan kemampuan beradaptasi dan fleksibel.
c)
Menunjukkan perilaku yang sopan dan bertanggung jawab.
d)
Mengakui, menghargai, dan memberi dukungan terhadap perbedaan pandangan
e)
Mengelola sumber-sumber yang ada secara efektif dan benar.
3)
Kemampuan Mengembangkan Diri
Kemampuan mengembangkan diri antara lain meliputi
:
a)
Mengambil inisiatif dalam mengembangkan kemampuan diri tanpa perlu menunggu
instruksi atasan.
b)
Menyediakan waktu untuk membaca dan mempelajari metode mengajar terkini.
c)
Melakukan refleksi dan riset sederhana terhadap pengajaran mereka sendiri
secara berkala.
d) Mengikuti pelatihan-pelatihan atau pertemuan-pertemuan
non formal tentang pendidikan.[33]
Sedangkan
menurut Oemar Hamalik kompetensi yang harus dimiliki guru meliputi : Kompetensi
profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi soaial atau kemasyarakatan.[34]
Secara
teoritis ketiga kompetensi tersebut
dapat dipisah-pisahkan satu sama lain
akan tetapi secara praktek ketiga kompetensi tersebut tidak mungkin
dipisah-pisahkan. Untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan satu persatu :
a. Kompetensi
profesional guru
Kompetensi
profesional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan wewenang dalam
menjalankan profesi keguruannya. Menurut Muhibbin Syah kurang lebih mengatan
bahwa dalam menjalankan kewenangan profesinalnya, guru dituntut memiliki
keanekaragaman kecakapan yang bersifat pesikologis yang meliputi : Kompetensi
Kognitif, kompetensi afektif, kompetensi psikomotor.[35]
Untuk
lebih jelasnya, akan diuraikan satu persatu sebagai berikut :
1) Kompetensi
bidang kognitif
Artinya kemampuan intelektual seperti penguasaan mata pelajaran,
pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah
laku individu, pengetahuan tentang bimbingan dan penyuluhan, pengetahuan
tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar
siswa, pengetahuan tentang kemasyarakatan serta pengetahuan umum lainnya.
2) Kompetensi
bidang sikap
Kompetensi bidang ini artinya kesiapan dan kesediaan guru
terhadap hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya. Misalnya sikap
menghargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki perasaan terhadap sesama teman
profesinya, memiliki kemauan yang keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya.
3) Kompetensi
perilaku / Psikomotor
Artinya kemampuan guru dalam berbagai ketrampilan /
berprilaku, seperti ketampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat
bantu pengajaran, bergaul dan berkomunikasi dengan siswa, ketrampilan
menumbuhkan semangat belajar siswa, ketrampilan menyusun persiapan mengajar dan
ketrampilan melaksanakan administrasi kelas.[36]
Ketiga bidang kompetensi itu tidak berdiri sendiri, tetapi
saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
b. Kompetensi
kepribadian
Kepribadian
adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru.
Karena disamping ia berperan sebagai pembimbing dan pembantu, guru juga
berperan sebagai panutan. Mengenai pentingnya kepribadian guru, Zakiyah Darajat
kurang lebih mengatakan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia
menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi
perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik.[37]
Dari
uraian di atas ada sepuluh kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, yaitu :
1) Menguasai
bahan
2) Mengelola
proses belajar mengajar
3) Mengelola
kelas
4) Menggunakan
media / sumber belajar
5) Menguasai
landasan-landasan kependidikan
6) Mengelola
interaksi belajar mengajar
7) Menilai
prestasi belajar
8) Mengenal
fungsi dan layanan bimbingan penyuluhan
9) Mengenal dan
menyelenggarakan administrasi sekolah
10) Memahami
prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan
pengajaran.
c. Kompetensi
Sosial
Lebih rinci A.S. Lardizabal dalam “Profesioanlisme
keguruan”, menjelaskan bahwa guru paling tidak memiliki beberapa kompetensi
personal-sosial yang penting antara lain :
1)
Menghayati dan mengenal nilai-nilai hidup
2)
Berlaku jujur dan bertanggung jawab
3)
Mampu berperan sebagai pemimpin dalam masyarakat dan sekolahan
4)
Bersikap sahabat dengan siapapun dan terampil dalam menggunakan
bahasa-bahasa komunikasi dalam tata pergaulan
5)
Berperan aktif dalam pelestarian dan pengembangan budaya masyarakat
setempat
6)
Berperan teguh dalam memegang nilai dan norma kehidupan dan menggunakan
prinsip dan kode etik sebagai guru
7)
Selalu bersedia berperan sebagai aktor perubahan yang positif dalam
kegiatan kemasyarakatan
8)
Menjaga mental agar tetap sehat dan stabil
9)
Guru tampil secara pantas dan rapi
10) Berbuat kreatif dengan penuh
perhitungan
11) Membangun relasi sosial guna
meningkatkan dan menyelesaikan tugas-tugas peran profesionalnya
3. Karakteristik
Kompetensi Guru
Kompetensi
seorang guru harus mempunyai karakteristik. Diantara karakteristik kompetensi
guru fiqih adalah :
a. Tugas dan
Tanggung Jawab Guru
Nana
Sudjana kurang lebih berpendapat bahwa tugas dan tanggung jawab guru dapat
digolongkan menjadi tiga yaitu:
1) Guru sebagai
pengajar
Guru sebagai
pengajar, lebih menekankan kepada tugas dalam merencanakan dan
melaksanakanpengajarannya. Dalam tugas ini guru dituntut memiliki seperangkat
pengetahuan dan ketrampilan teknik mengajar di samping menguasai ilmu dan bahan
2) Guru sebagai
pembimbing
Guru sebagai
pembimbing adalah memberikan tekanan pada tugas memberikan bantuan kepada siswa
dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Tugas ini merupakan aspek pendidik,
sebab tidak hanya berkenaan dengan penyampaian ilmu pengetahuan tetapi juga
menyangkut pengembangan kepribadian dan pembentukan nilai para siswa
3) Guru sebagai
administrator kelas.
Guru sebagai
administrator kelas, pada hakekatnya merupakan jalinan antara ketatalaksanaan
pada umumnya. [39]
Setiap
guru harus memenuhi persyaratan sebagai manusia yang bertanggung jawab.
Tanggung jawab guru di antaranya adalah mewariskan nilai-nilai dan norma-norma
kepada anak didik. Sehingga terjadi proses konversi nilai, karena melalui
proses pendidikanlah diusahakan terciptanya nilai-nilai baru.
Tanggung
jawab guru mencakup dalam beberapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Tanggung
jawab moral
Tanggung jawab moral
berarti bahwa setiap guru harus mempunyai kemampuan menghayati perilaku dan
etika yang sesuai dengan moral pancasila dan mengamalkan dalam kehidupan
sehari-hari.
2) Tanggung
jawab dalam bidang pendidikan di sekolah
Yang dimaksud
tanggung jawab di bidang pendidikan di sekolah yaitu, setiap guru harus
menguasai cara belajar mengajar yang efektif, mampu membuat satuan pelajaran,
mampu memahami model bagi siswa, mampu memberikan nasehat, menguasai
teknik-teknik pemberian bimbingan dan layanan, dan mampu membuat dan
melaksanakan evaluasi.
3) Tanggung
jawab dalam bidang kemasyarakatan
Berarti bahwa guru
harus turut serta dalam mensukseskan pembangunan dalam masyarakat, untuk itu
guru harus mampu membimbing, mengabdi dan melayani masyarakat.
4) Tanggung
jawab dalam bidang keilmuan
Yang dimaksud adalah
bahwa guru selaku ilmuwan bertanggung jawab dan turut serta memajukan ilmu,
terutama ilmu yang telah menjadi spesialisasinya dengan melaksanakan penelitian
dan pengembangan.[40]
Dengan
demikian guru berkewajiban membina pengetahuan, sikap dan ketrampilan siswa
sekurang-kurangnya harus terus menerus membina suasana keagamaan dan kerja
penuh rasa persatuan.
b. Fungsi dan
Peranan Guru
Fungsi
dan peran guru sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Untuk itu disebutkan fungsi dan peran guru, sebagai berikut :
1) Guru sebagai
pendidik dan pengajar
2) Guru sebagia
anggota masyarakat
3) Guru sebagai
pemimpin
4) Guru sebagai
pelaksana administrasi
Guru
sebagai pendidik dan pengajar hendaknya memiliki kestabilan emosi ingin
memajukan siswa, bersikap realistis, jujur, dan terbuka, peka terhadap
perkembangan pendidikan. Untuk mencapai semua itu guru harus memiliki dan
menguasai berbagai jenis bahan pelajaran, menguasai teori dan praktek
kependidikan, menguasai kurikulum dan metodologi pengajaran.
Guru
sebagai anggota masyarakat, hendaknya pandai bergaul dengan masyarakat. untuk
itu guru menguasai psikologi sosial, memiliiki pengetahuan tentang hubungan
antar manusia dan sebagainya.
Guru
sebagai pemimpin dituntut untuk mampu memimpin kelas. Untuk itu perlu memiliki
kepribadian, menguasai ilmu kepemimpinan, menguasai teknik berkomunikasi dan
berbagai aspek kegiatna berorganisasi yang ada di sekolah.
Guru
sebagai pelaksana administrasi, berarti guru akan menghadapi administrasi yang
harus dikerjakan di sekolah. Maka guru harus memiliki kepribadian jujur,
teliti, menguasai kegiatan administrasi.
Guru
sebagai pengelola kelas, yaitu bahwa guru dalam proses belajar mengajar harus
menguasai berbagai metode mengajar dan harus menguasai situasi belajar mengajar,
baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
4. Manfaat
Kompetensi Guru
Manfaat
kompetensi guru antara lain :
a. Kompetensi
guru penting dalam hubungannya dengan kegiatan dan hasil belajar siswa, bukan
saja ditentukan oleh sekolah pola struktur dan isi kurikulumnya, akan tetapi
ditentukan sebagian besar oleh kompetensi guru : mengajar dan membimbing
mereka.
b. Kepribadian
guru yang baik akan menentukan dirinya menjadi pendidik dan pembina yang baik
bagi anak didiknyadan sebaliknya kalau kepribadian guru itu jelek maka akan
menjadi penghancur atau perusak masa depan anak didiknya, terutama bagi anak
didik yang masih kecil dan mereka yang sedang mengalami stres.
c. Kompetensi
guru penting dalam hubungannya dengan masyarakat. Hubungan baik guru dengan
masyarakat akan dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan
mutu pendidikan dan pengajaran di sekolah, karena ini merupakan bagian dari
tugas dan tanggung jawab profesi guru.
d. Seorang guru
harus menguasai bahan yang akan disampaikan agar dapat membina dan mendidik
dengan hasil yang baik.
b.
Guru dalam Bingkai
Kompetensi Keguruan
Dalam konsep komunikasi, seorang guru tidak akan
terlepas dari perencanaan tentang bagaimana mengkomunikasikan dan apa yang akan
dikomunikasikan. Proses komunikasi ini dapat berbentuk lisan, tertulis, visual,
bahkan simbol-simbol yang dilambangkan. Guru, sebagai salah satu komponen
terpenting dalam pendidikan, menempati kedudukan paling strategis di dalam
proses pembelajaran yang melebur dalam persetubuhannya dengan komunikasi yang diterangkan
tersebut. Tidak selesai sampai disitu, sebagai agen pembelajaran guru memiliki
peran sentral sebagai fasilitator, motivator, dan perekayasa pembelajaran.[42] Nantinya, guru yang
professional ialah yang memiliki kompetensi dalam tugas pendidikan dan pengajaran.
Kompetensi diartikan sebagai kekuatan untuk
menentukan atau memutuskan suatu hal.[43] Kompetensi juga berarti
sebuah pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam
kebiasaan berfikir dan bertindak.[44] Jika dikaitkan dengan guru,
maka kompetensi menjadi terkerucut pada arti seperangkat penguasaan kemampuan
yang harus ada dalam diri guru agar dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat
dan efektif.[45]
Secara legal formal, UU Republik Indonesia No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen membakukan kompetensi tersebut sebagai: seperangkat pengetahuan,
ketrampilan, dan prilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru
atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.[46]
Dari uraian berbagai definisi tersebut, penulis
dapat menyimpulkan bahwa kompetensi yang dikaitkan pada guru berarti kemampuan
guru dalam melaksanakan tugas keguruannya sebaik-baiknya. Dalam arti kompetensi
yang merujuk pada kinerja seseorang dalam suatu pekerjaan yang bisa dilihat
dari pikiran, sikap, dan perilakunya. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan
yang dituntut oleh profesi seseorang tersebut.[47]
Ada 2 (dua) macam tugas guru; sebagai pendidik dan
pengajar secara sekaligus. Dalam melaksakan tugasnya, ada 3 (tiga) hal
kompetensi yang harus dikuasai: kompetensi kepribadian, kompetensi bidang
studi, dan kompetensi pendidikan atau pembelajaran, dengan penjelasan
sebagaimana berikut:[48]
a.
Kompetensi kepribadian
Mencakup kepribadian yang utuh, berbudi luhur,
jujur, dewasa, yang terbagi pada 3 (tiga) aspek: bermoral dan beriman,
aktualisasi yang tinggi, sikap terus mengembangkan pengetahuan.
b.
Kompetensi bidang studi
Memuat pemahaman akan karakteristik dan isi bahan
ajar dan bidang studi yang menjadi tugasnya, menguasai konsepnya, mengetahui
metodologi dan metode ilmu yang bersangkutan itu bekerja, memahami konteks
bidang tersebut, dan juga kaitannya dengan masyarakat, lingkungan, dan ilmu
yang lain, serta dalam teknologi yang sekarang ada.
c.
Kompetensi pendidikan/pembelajaran
Memuat akan sifat, ciri anak didik dan perkembangannya,
mengerti konsep pendidikan yang berguna untuk membantu siswa, menguasai
beberapa metodologi mengajar yang sesuai bahan dan perkembangan siswa, serta
menguasai system evaluasi yang tepat dan baik, yang pada gilirannya
meningkatkan kemampuan siswa.
Masih dalam kaitannya sebagai pendidik dan
pengajar, ada 2 (dua) syarat mutlak yang harus dimiliki seorang guru: capability
dan loyality. Kedua syarat tersebut terlebur dalam berbagai
kompetensi guru yang berjumlah 4 (empat):
a.
Kompetensi personal
Kompetensi ini menunjuk perlunya struktur
kepribadian dewasa yang mantap, susila, dinamik, dan bertanggung jawab.
Kemampuan semacam ini sangat penting untuk perkembangan anak didik.[49]
b.
Kompetensi profesional
Diartikan sebagai kemampuan seorang guru atas
materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing
peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar
nasional pendidikan.[50]
c.
Kompetensi Pedagogik
Diartikan sebagai kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik.[51]
Kompetensi ini meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran,[52] evaluasi hasil
pembelajaran, pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan potensi yang
ada dalam dirinya.
d.
Kompetensi sosial
Ialah kemampuan sebagai bagian dari masyarakat
untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali murid, dan masyarakat sekitar.[53]
c.
Kompetensi Sosial
Guru sebagai Kompetensi Keguruan
Gadner menyebutnya sebagai social intelligent,[54]
sedangkan Thorndike memahaminya sebagai pengelolaan sosial.[55] Hujair Sanaky memiliki
pandangan tersendiri dengan kemampuan ini, dengan cakupan kemampuan interaktif
seorang guru, dan menambahkan pemecahan kehidupan sosialnya.[56]
Guru di mata anak didiknya sebagai suri tauladan
dan panutan yang perlu dicontoh dalam kehidupannya sehari-hari adalah sebuah
pemahaman umum. Namun hal tersebut secara otomatis akan memberikan beban
tersendiri kepada guru untuk membina anak didiknya kea rah norma yang terpuji.
Karenanya, kemampuan sosial seorang guru sangat signifikan dimiliki seorang
guru untuk menghadapi kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan siswa atau
orang tua mereka.[57]
Kompetensi ini menuntut penguasaan 3 (tiga) bidang
dasar: [58]
a. Kemampuan dalam bidang
kognitif, artinya kemampuan Intelektual, seperti penguasaan mata pelajaran,
pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahun mengenai belajar dan tingkah
laku individu, pengetahuan tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang
administrasi kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar siswa,
pengetahuan tentang kemasyarakatan serta pengetahuan umum.
b. Kemampuan dalam bidang sikap,
artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan
tugas dan profesinya. Misalnya sikap menghargai pekerjaannya, mencintai dan
memiliki perasaan senang terhadap mata pelajarannya yang dibinanya, sikap
toleransi terhadap sesama teman profesinya, memiliki kemauan yang keras untuk
meningkatkan hasil pekerjaannya.
c. Kemampuan perilaku (performance),
artinya kemampuan guru dalam berbagai ketrampilan dan perilaku, yaitu
ketrampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran,
bergaul atau berkomunikasi dengan siswa, ketrampilan menyusun persiapan
perencanaan mengajar, ketrampilan melaksanakan administrasi kelas dan
lain-lain.
C.
Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian pertama diperoleh dari Lestari Wilujeng
dengan judul skripsinya: “Meningkatkan Prestasi Belajar Fiqh melalui Model
Pembelajaran Kooperatif pada Kelas X MA Ibnul Qayyim Jogjakarta,” di UIN Sunan
Kalijaga Jogjakarta. Lestari memberikan paparan bahwa tujuan penelitiannya
ialah mengetahui keterlaksanaan metode kooperatif, dan hasil penelitiannya
menerangkan bahwa pada kelas X MA Ibnul Qayyim mengalami peningkatan prestasi pada
3 (tiga) siklus.
Penelitian yang kedua dari Dedy Riyadin Saputro
yang berjudul: “Aktivitas Humas dalam Menjalankan Media Relation.” Dedy
memberikan kesimpulan bahwa kinerja humas belum sepernuhnya terlaksana seperti
fungsi dan peran idealnya. Ada banyak faktor yang membekali Dedy untuk meneliti
humas dalam kacamata media relation, salah satunya ialah pentingnya humas
sebagai penyambung publisitas suatu lembaga.
Berbeda dengan penelitian atau skripsi dari
penulis yang berjudul “peran wakil kepala bidang humas dalam meningkatkan
kompetensi sosial guru di MA Miftahut Thullab Putatsari Grobogan. Dijelaskan
bahwa dalam penelitian ini lebih condong atau membahas menegenai peran-peran
atau program kerja yang dilakukan oleh humas dalam rangka meningkatkan komoetensi
sosial guru. Adapun kompetensi sosial guru sendiri meliputi kompetensi dalam
bidang komunikasi komunikasi lisan dan tulisan.
D.
Kerangka Berfikir
Mencerdaskan anak bangsa merupakan salah satu
amanah bangsa yang dibebankan kepada para guru. Sehingga guru harus bertanggung
jawab atas kecerdasan para anak didiknya. Oleh karenanya guru harus berkualitas
dan berkompetensi baik secara personal maupun sosial.
Dalam rangka mewujudkan guru yang berkompetensi
secara sosial menjadi hal yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan dan
dalam hal ini adalah waka kehumasan. Dimana waka humas bertuhuan untuk
membangun relasi sosial kepada para masyarakat secara umum dan tentunya kepada
warga sekolah sendiri.
Jadi humas memiliki peranan yang penting untuk
meningkatkan kompetensi guru secara sosial. Sebab dengan kompetensi sosial yang
dimiliki oleh guru nantinya diharapkan akan mapu menjadikan anak didik lebih
berkualitas dan bisa bersosialisasi di dalam masyarakat.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan
Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research)
dengan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang mempunyai karakteristik
bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya (natural
setting), dengan tidak mengubah bentuk simbol atau angka dan bersifat
deskriptif yang didasarkan pada pertanyaan bagaimana.[59] Yaitu menggambarkan
peristiwa maupun kejadian yang ada di lapangan tanpa mengubah menjadi angka
maupun simbol, kalaupun ada angka-angka, sifatnya hanya sebagai penunjang.[60] Maksud penulis di sini
yaitu mengedepankan kategori-kategori yang berkaitan dengan peran wakil kepala
bidang humas dalam meningkatkan kompetensi sosia guru di MA. Miftahut Thullab
Putatsari Grobogan.
Alasan menggunakan metode kualitatif dalam penelitian ini adalah karena
permasalahan belum jelas, holistik, kompleks dan penuh makna sehingga tidak
mungkin data pada situasi sosial tersebut dijaring dengan metode penelitian
kuantitatif dengan instrumen seperti test, dan kuesioner.
Jika dilihat dari aspek penelitiannya, maka penelitian ini termasuk jenis
penelitian studi kasus yaitu merupakan penelitian yang dilakukan secara
intensif, mendalam, mendetail dan komprehensip.[61] Adapun tujuan penelitian
kasus adalah memberikan gambaran mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat
(karakter) yang khas dari suatu kasus. Sedangkan dalam penelitian ini yang
dijadikan studi kasus adalah peran wakil kepala bidang humas dalam meningkatkan
kompetensi sosial guru di MA. Miftahut Thullab Putatsari Grobogan.
B. Sumber Data
Sumber data adalah bentuk metode yang digunakan untuk
memperoleh data konkrit dari lapangan yang menjadi obyek penelitian untuk
melengkapi perangkat yang penulis laksanakan. Suharsimi Arikunto dengan
mengutip pendapat Lofland and Lofland menjelaskan bahwa sumber data utama dalam
penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu pada bagian
ini jenis datanya dibagi dalam kata-kata, tindakan, sumber data tertulis, dan
foto.[62]
Apabila peneliti menggunakan wawancara dalam pengumpulan
data, maka sumber datanya disebut responden, yaitu orang yang merespon atau
menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan lisan atau tertulis.
Apabila peneliti menggunakan tehnik observasi, maka sumber datanya bisa berupa
benda, gerak atau proses sesuatu. Dan jika peneliti menggunakan dokumentasi,
maka sumber datanya bisa berupa dokumen atau catatan.[63]
Adapun sumber data lapangan ada 2 (dua) macam:
1.
Sumber data primer, sumber data yang memberikan data secara langsung kepada
peneliti. Data yang dimaksud adalah siswa, guru, kepala sekolah beserta staf
pendidikan dari MA. Miftahut Thullab Putatsari Grobogan,
2.
Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang memberikan data secara tidak
langsung kepada peneliti. Data sekunder ini bersifat melengkapi daripada data
primer. Data yang dimaksud bisa berupa historiografi MA. Miftahut Thullab
Putatsari Grobogan dan dokumen-dokumen lainnya.
C.
Lokasi Penelitian
Peneliti
mengambil lokasi untuk penelitian ini di MA. Miftahut Thullab Putatsari
Grobogan, sebab lokasi penelitian dekat dengan domisili peneliti sehingga akan
mempermudah penelitian dengan harapan akan memperoleh hasil yang optimal.
D. Subjek Penelitian
Sampel
sumber data dalam penelitian ini dipilih secara purposif dan bersifat snowball
sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber
data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya orang
tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan atau dia sebagai
penguasa sehingga akan memudahkan peneliti untuk menjelajahi objek/situasi
sosial yang di teliti.[64] Sedangkan snowball
sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data yang awal jumlahnya
sedikit namun lama-kelamaan menjadi besar.[65] Adapun teknik sampling
yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah snowball sampling
yaitu sampel sumber data tahap awal memasuki lapangan yaitu wakil kepala bidang
humas MA. Miftahut Thullab Putatsari Grobogan. Dalam wawancara selanjutnya akan
ditujukan ustad atau guru MA. Miftahut Thullab Putatsari Grobogan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Untuk
mendapatkan data dalam penelitian ini digunakan beberapa metode antara lain:
a.
Metode observasi
Menurut Suharsimi Arikunto, metode observasi
adalah menatap kejadian, gerak, atau proses. Mengamati bukanlah pekerjaan yang
mudah karena manusia banyak dipengaruhi oleh minat dan
kecenderungan-kecenderungan yang ada padanya. Hasil observasi harus sama,
walaupun dilakukan oleh beberapa orang. Dengan kata lain, pengamatan harus
obyektif.[66]
Metode observasi ini, digunakan untuk memperoleh
data tentang keadaan sarana dan prasarana kegiatan di MA. Miftahut Thullab
Putatsari Grobogan, serta pola sosial humas di MA. Miftahut Thullab Putatsari
Grobogan.
b.
Metode Wawancara (interview)
Interview atau wawancara adalah suatu proses tanya jawab dalam penelitian yang
menghendaki komunikasi langsung antara peneliti dengan subyek atau sampel.[67] Hal ini dilakukan dengan
cara mengajukan pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula.[68] Adapun macam-macam
interview adalah sebagai berikut,[69]
1.
Wawancara terstruktur, yaitu bila peneliti atau pengumpul data telah
mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Artinya
peneliti telah menyiapkan instrument penelitian yang berupa
pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun sudah
dipersiapkan.
2.
Wawancara semiterstruktur, yang gunanya adalah untuk menemukan permasalahan
secara terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan
ide-idenya.
3.
Wawancara tak terstruktur, yaitu wawancara bebas dimana peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap
untuk pengumpulan datanya.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan interview
semistruktur. Mula-mula interview menanyakan serentetan pertanyaan yang sudah
terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam dalam mengorek keterangan lebih
lanjut. Dengan demikian jawaban yang diperoleh bisa meliputi semua variabel,
dengan keterangan yang lengkap dan mendalam.[70]
c.
Metode Dokumentasi
Menurut
Suharsimi Arikunto, bahwa metode
dokumenter adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
legger, agenda dan sebagainya.[71]
Adapun dalam penelitian ini metode dokumenter
digunakan untuk mencari data tentang sejarah berdirinya MA. Miftahut Thullab
Putatsari Grobogan, dan lain-lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
F. Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data adalah suatu cara untuk
menguji tentang kevalidan, kereliabilitasan dan keobjektifan data penelitian
sehingga nantinya data yang diperoleh dapat dipertanggung-jawabkan secara
ilmiah dan dapat ditindak lanjuti.[72] Dalam penelitian ini,
pemeriksaan keabsahan data didasarkan pada kriteria-kriteria untuk menjamin
kepercayaan data yang diperoleh melalui penelitian. Menurut Moleong kriteria
tersebut ada tiga yaitu: kredibilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas.
1.
Kredibilitas
Kredibilitas data dimaksudkan untuk membuktikan
data yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan dunia nyata serta terjadi dengan
sebenarnya. Untuk mencapai nilai kredibilitas ada beberapa teknik yaitu: teknik
trianggulasi sumber, pengecekan anggota, dan perpanjangan kehadiran peneliti
dilapangan.
Tianggulasi sumber data adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu.
Trianggulasi data dilakukan dengan cara menanyakan kebenaran data tertentu yang
diperoleh dari informan satu kemudian dikonfirmasikan kepada informan lain.
Trianggulasi metode juga dilakukan dengan cara membandingkan data atau
informasi yang dikumpulkan dari informan satu kemudian membandingkan dengan
data pada informan yang lain yang terkait langsung dengan data tersebut.
Pengecekan anggota dilakukan dengan cara
menunjukkan data atau informansi, termasuk hasil interpretasi penelitian yang
sudah ditulis dengan rapi dalam bentuk catatan lapangan atau transkrip
wawancara pada informan kunci agar dikomentari, disetujui atau tidak, dan bisa
ditambah informasi lain jika dianggap perlu.
Perpanjangan keikutsertaan peneliti, sebagaimana
telah dikemuka-kan, sangat menentukan dalam pengumpulan data. Keikutsertaan
tersebut tidak dilaksanakan dalam waktu singkat tetapi memerlukan waktu yang
relatif panjang pada latar penelitian. Perpanjangan keikutsertaan peneliti
dapat menguji kebenaran informasi yang diperoleh secara distorsi, baik berasal
dari peneliti sendiri maupun dari para informan.
2.
Dependebilitas (ketergantungan)
Kriteria ini digunakan untuk menjaga kehati-hatian
akan terjadinya kemungkinan kesalahan dalam menyimpulkan dan
menginterpretasikan data, sehingga data dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah. Kesalahan banyak disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendiri terutama
peneliti, sehingga instrumen kunci dapat menimbulkan ketidak-percayaan pada
peneliti. Dalam penelitian ini, sebagai auditornya adalah dosen
pembimbing.
3.
Konfirmabilitas
Kriteria ini digunakan untuk menilai hasil
penelitian yang dilakukan dengan cara mengecek data dan informasi serta
interpretasi hasil penelitian yang didukung oleh materi yang ada pada pelacakan
audit. Dalam pelacakan ini, peneliti menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan
seperti data lapangan berupa catatan lapangan dari hasil pengamatan penelitian
tentang partisiasi guru dalam meningkatkan mutu pendidikan dan transkrip
wawancara serta catatan proses pelaksanaan penelitian yang mencakup metodologi,
strategi serta usaha keabsahan. Dengan demikian, pendekatan konfirmabilitas
(kepastian) lebih menekankan pada karakteristik data. Upaya kofirmabilitas untuk
mendapat kepastian data yang diperoleh itu objektif, bermakna, dapat dipercaya,
faktual dan dapat dipastikan. Berkaitan dengan pengumpulan data ini, keterangan
dari kepala sekolah perlu diuji kredibilitasnya. Hal inilah yang menjadi
tumpuan penglihatan, pengamatan objektifitas dan subjektifitas untuk menuju
suatu kepastian. [73]
G. Teknik Analisis Data
Setelah
data terkumpul, langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Dalam
hal ini peneliti menggunakan kualitatif deskriptif. Artinya, peneliti tidak
terlalu memaksa diri, melainkan memahami situasi yang terjadi di lapangan
(obyek penelitian) sebagaimana situasi tersebut menampilkan diri.[74]
Prosesnya
ialah mendefinisikan analisis data sebagai sebuah proses memerinci usaha secara
formal untuk merumuskan tema. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa
menganalisis data berarti mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,
kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema seperti yang
disarankan oleh data itu sendiri.[75]
Dalam
hal ini, peneliti memberikan gambaran secara utuh tentang pembelajaran fiqh
kontemporer pada MA. Miftahut Thullab Putatsari Grobogan. Gambaran utuh
tersebut kemudian ditelaah, dikaji, dan disimpulkan sesuai dengan tujuan dan
kegunaan penelitian.
[1] Nurudin, Hubungan Media: Konsep dan Aplikasi, Raja
Grafindo, Jakarta, 2008, hlm. 12
[2] Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi: Teori dan
Praktik, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hlm. 3
[3] Effendy, Humas:Suatu Studi Komunikologis, Mandar
Maju, Bandung, 2004, hlm. 103
[4] Zamroni, Paradigma
Pendidikan Masa Depan, Biagraf Publishing, Jogjakarta, 2000, hlm. 53
[5] Suwarna, Pengajaran Mikro, Tiara Wacana,
Jogjakarta, 2007, hlm. 23
[6] Abdul Majid, Perencanaan
Pembelajaran (Mengembangkan Standar Kompetensi Guru), PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2007, hlm. 5-6
[7] Sudarwan Danim, Inovasi
Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Pustaka
Setia, Bandung, 2004, hlm. 138
[8] Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKIS,
Jogjakarta, 2007, hlm. 12
[9] Ibid.,
hlm. 14-15
[10] I Gusti Ngurah Putra, Perkembangan Konsep
Public Relations dalam Organisasi, Usahawan, Jogjakarta, 1993, hlm. 9, dan
bandingkan Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, Bina Aksara,
Jakarta, 1998, hlm. 193
[12] Rosady Roslan, Manajemen
Public Relations dan Media Komunikasi: Konsepsi dan Aplikasi, Raja Grafindo
Jakarta, 2007, hlm. 15-16
[14] Hamdan Adnan & Hafied
Cangara, Prinsip-Prinsip Hubungan Masyarakat, Usaha Nasional, Surabaya,
1996, hlm. 17
[15] Onong Uchjana, Effendy, Hubungan
Masyarakat: Suatu Studi Komunikologis, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1998,
hlm. 24-36
[16] Onong
Uchjana, Effendy, Human Relations and Public Relations dalam
Manajemen, Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 118
[17] Suryosubroto, Humas dalam Dunia Pendidikan, Citra
Gama Widya, Jogjakarta, 2001, hlm. 72
[18] Hamdan Adnan & Hafied Cangara, Op. Cit.,
hlm. 19
[19] I Gusti Ngurah Putra, Op. Cit., hlm. 4
[20] Suryosubroto, Op.Cit, hlm. 72
[21] Ibid, hlm. 73-74
[22] Effendy, Op. Cit., 2004, hlm. 114
[23] Rosady Roslan, Op. Cit., hlm. 2-3
[24] Ibid, hlm. 39-40.
[25] Nanang Fattah. Landasan Manajemen Pendidikan,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004,
hlm. 71
[26] Ibid, hlm. 88.
[27] Muhammad Bukhori dkk. Azas-Azas Manajemen,
Yogyakarta, Aditya Media, 2005, hlm. 73
[28] Muhammad Bukhori dkk. Op.Cit, hlm. 119.
[29] Djuhad Mahja, UU No. 14 tahun 2005 Guru dan
Dosen, Durat Bahagia, Jakarta, 2006, hlm. 3
[30] Nana Sudjana, Dasar-dasar
Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2002, hlm. 17.
[31] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm.288.
[32] Nana Sudjana, Op. cit.,
hlm. 18.
[33] Departemen
Agama RI, Standar Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum
dan Madrasah, Jakarta : Ditjen Bimbaga Islama Depag RI, 2004, hlm. 9-12
[34] Oemar Hamalik, Pendidikan
Guru Konsep dan Strategi, Mandar Maju, 1991, hlm.38
[35] Muhibbin Syah, Psikilogi
Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1995,
hlm.231
[36] Nana Sudjana, Op.Cit.,
hlm. 18.
[37] Muhibbin Syah. Op.Cit. ,
hlm.226
[38]Ibid, hlm. 55-57.
[39] Nana Sudjana, Op.Cit.,
hlm. 19.
[40] Cece Wijaya, Kemampuan Dasar
Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1990, hlm.
99.
[41] Cece Wijaya, Op.Cit.,
hlm. 10-11.
[42] Triyanto dan Titik Triwulan Tutik, Sertifikasi
Guru dan Upaya Peningkatan Kualifikasi, Kompetensi, dan Kesejahteraan, Prestasi
Pustaka Publisher, Jakarta, 2007, hlm. 71
[43] Moch. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hlm. 14
[44] Kunandar, Guru Profesional, Raja Grasinfo
Persada, Jakarta, 2007, hlm. 52
[45] Ibid., hlm. 55
[46] E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi
Guru, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, hlm. 25
[47] Saiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar dan
Kompetensi Guru, Usaha Nasional, Surabaya, 1994, hlm. 33
[48] E. Mulyasa, Op. Cit., hlm. 47
[49] E. Mulyasa, Op. Cit., hlm. 117
[50] Triyanto dan Titik Triwulan Tutik, Op. Cit.,
hlm. 119
[51] Asrorun Ni’am, Membangun Profesionalitas Guru,
elSAS, Jakarta, 2006, hlm. 162
[52] Saiful Bahri Djamarah, Op. Cit., hlm. 47
[53] E. Mulyasa, Op. Cit., hlm. 173
[54] Moch. Uzer Usman, Op. Cit., hlm. 36
[55] Hadi Suyono, Social Intelligence, Ar-Rouzz
Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 102
[56] Hujair Sanaky, Kompetensi dan Sertifikasi
Guru, Sebuah Pemikiran,
[57] Cece Wijaya dan Thabrani Rusyan, Kemampuan
Dasar Guru dalam Proses Belajar Mengajar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
1994, hlm. 181
[58] Ibid.,
hlm. 24
[59] W. Gulo, Metodologi Penelitian, Media
Widia Sarana, Jakarta, 2002, hlm. 19.
[60] Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif,
Pustaka Setia, Bandung, 2002, hlm. 61
[62] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian
Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal 112
[63] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal 102
[64] Ibid, hlm. 300
[65] Ibid
[66] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek,
Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 235
[67] Winarno Surachmad, Dasar dan Praktek Research,
Pengantar Metodologi Ilmiah,
Tarsito, Bandung, tt, hlm. 178
[68] S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan,
Rineka Cipta, Jakarta, 2005, cet. 5, hlm. 165.
[69] Sugiyono, Op. Cit, hlm. 319-320
[70] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakartra, 1996, hlm. 229-230.
[72] Sugiyono, Op.
Cit, hlm. 365
[74] Kristi Purwandari,
Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian, LPSP3, Jakarta, 1998, hlm. 62
[75] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar