HADIST TENTANG HUTANG
(MAKNA GLOBAL & MAKNA KONSTEKTUAL)
A.
MATAN HADIST
نَفْسُ المُؤْمِنِ مُعَلَّعَقَةٌ
بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ (رواه أحمد والترمذى)
B.
TERJEMAHAN
“Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung karena
hutangnya, sampai ia dibayarkan.”(H.R.Ahmad dan Tirmidzi).
C.
PENJELASAN (MAKNA GLOBAL)
Di
dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang
namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada
pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan,
ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang
dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga
mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari
orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam
ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan
untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan
seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam
neraka. Dan jiwanya
akan terkatung-katung, maksudnya ialah tidak akan merasa tenang dan terus
merasa terbebani sehingga dapat membayar hutang.
D.
MAKNA KONTSEKTUAL
Kehidupan bagai roda yang terus
berputar, terkadang di atas dan terkadang di bawah.Kondisi manusia pun tidak
jauh berbeda.Terkadang penuh kelapangan, dan terkadang kekurangan dan
membutuhkan bantuan. Karena itulah, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat
kita, hutang piutang tidaklah menjadi sesuatu yang asing.Begitu pula Syariat
Islam yang indah juga melihat secara umum, bahwa aktifitas hutang piutang atau
pinjam meminjam, sejatinya adalah salah satu bentuk pelaksanaan ajaran tolong
menolong antara manusia yang sangat dianjurkan
dalam Islam.
Allah SWT berfirman : Bertolong-tolonglah
kamu dalam kebaikan dan dalam melaksanakan takwa, dan jangan kamu
bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan. (QS Al-Maidah : 2)
Islam mengatur hubungan yang kuat antara akhlak, akidah, ibadah, dan
muamalah. Aspek muamalah merupakan aturan main bagi manusia dalam menjalankan
kehidupan sosial, sekaligus merupakan dasar untuk membangun sistem perekonomian
yang sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Ajaran muamalah akan menahan manusia dari menghalalkan segala cara untuk
mencari rezeki. Muamalah mengajarkan manusia memperoleh rezeki dengan cara yang
halal dan baik. Dan salah satu aspek dalam Muamalah ialah hutang piutang atau
pinjam meminjam.
Di
dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan
istilahAl-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa)
ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan
kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan
potongan dari harta orang yang memberikan hutang. (Lihat Fiqh Muamalat (2/11),
karya Wahbah Zuhaili)
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah
menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang
akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai
dengan padanannya. (Lihat Muntaha
Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min
Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim
Al-Abbadi, hal.29).
Jadi jika disimpulkan, Hutang piutang
adalah suatu akad atau transaksi memberikan sesuatu kepada seseorang dengan
perjanjian dia akan membayar atau mengembalikan barang tersebut dengan jumlah
yang sama.
Dalam pengertian yang umum,
hutang-piutang mencakup transaksi jual beli dan sewa menyewa yang dilakukan
secara tidak tunai. Pemahaman masyarakat
tentang hutang-piutang dan pinjam-meminjam sangat bervariasi. Salah satunya
adalah dengan menggunakan standar harga barang. Praktik Utang-piutang
berstandar harga barang dalam tulisan ini terjadi dengan cara seseorang
membutuhkan uang untuk suatu keperluan, lalu meminjam uang sejumlah yang
dibutuhkan sesuai kesepakatan (misalnya Rp. 1.000.000,-) yang pada saat
peminjam meminjam uang sebesar itu akan dapat membeli pupuk sebanyak 10 sak,
lalu pada saat dikembalikan, misalnya tahun depan dikembalikan seharga 10 sak
pupuk, yang sangat mungkin harganya lebih tinggi dari harga pada tahun
sebelumnya (misalnya Rp 1.500.000,-). Cara ini sangat rasional dan sangat
memenuhi rasa keadilan. Si pemberi pinjaman telah memberikan kesempatan uangnya
dipergunakan oleh peminjam dalam jangka waktu satu tahun, hal ini sangat
membantu peminjam. Sementara, pemberi pinjaman tidak dirugikan karena barang
yang diperoleh dengan uang yang dimiliki pada tahun ketika ia memperpinjamkan
uangnya dengan saat dikembalikan uang tersebut masih sama. Akan tetapi, utang-piutang model ini
tetap tidak diakadkan dengan barang, hanya saja diandaikan dengan harga barang
yang riil dan mengikuti kemungkinan naik dan turun harga.
Adapun
hukum berhutang atau meminta pinjaman
adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena
Nabi pernah berhutang.. Hukum hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islami.
Memberi hutang hukumnya sunnah, sama halnya tolong menolong dalam bidang yang
lain. Dalam sabda Nabi saw yang artinya :”Allah akan menolong hamba-Nya
selama hamba itu suka menolong saudaranya “ (H.R.Muslim). Memberikan hutang
kadang-kadang dapat menjadi wajib seperti menghutangi orang yang terlantar atau
yang sangat hajat. Dan tidak ada keraguan lagi bahwa hal ini adalah suatu
pekerjaan yang amat besar faedahnya terhadap masyarakat ,karena masyarakat satu
sama lain hajat menghajatkan pertolongan.
Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang
sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya
terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya
hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil
dari Al-Qur’an adalah firman Allah : “Siapakah yang mau memberi
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan
Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat
ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan
dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi
pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui
beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk
mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan
berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah sesekor unta ruba’i
terbaik?” Beliau bersabda, “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang
yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.”(HR.
Bukhari dan Muslim).
Nabi
juga bersabda: “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada
sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.”
(Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij
Ahadits manar As-sabil).
Aktifitas hutang piutang
memang bukanlah hal yang tercela dan
meminta pinjaman itu juga di perbolehkan , karena kebutuhan manusia memang
banyak. Dan untuk kebutuhan yang mendesak berhutang dapat menjadi jalan keluar
yang terbaik dari pada melakukan pencurian karena kebutuhan tersebut, hanya saja
Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu
membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Serta sejak awal syariat kita menganjurkan kepada kita untuk menahan diri agar
tidak berhutang kecuali “benar-benar terpaksa”.
Bahkan anjuran untuk
menghindari hutang ini digambarkan dalam beberapa riwayat, dimana Rasulullah
pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih
meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya yang
hadistnya ialah “Dari Salamah bin Al Akwa’
radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Lalu
didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki
hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan,
“Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab,
“Tidak.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah
tersebut.Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata,
“Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki
hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah
dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada,
sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah
tersebut.Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata,
“Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka
(para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia
memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah
sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah,
shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun
menyolatinya.” (HR.
Bukhari)
Ketika seseorang telah berhutang
terhadap orang lain, maka disitu memiliki tanggung jawab untuk membayarnya
waktu tempo perjanjiannya tiba, hutang yang sudah di pinjamkan tidak boleh
mengundurkan waktu untuk membayarnya, dan tidak boleh menyianyiakan hutang nya
hingga tempo sudah melebihi yang dijanjikan, banyak terjadi sekarang yang
melalaikan terhadap hutang yang di pinjamkannya, akhirnya melupakan diri
terhadap pembayarannya.
Serta banyak diantara para pengutang yang sanggup
membayar utangnya, tetapi ada rasa enggan membayarnya sehingga mengganggap hal
semacam itu adalah tidak berarti dan tidak memiliki rasa tanggung jawab
terhadap pembayaran utang yang sesungguhnya padahal banyak yang terjadi
dikalangan zaman sekarang bahwa apabila sesorang menunda-nunda membayar utang
sedangkan ia mampu membayarnya maka itu adalah sebuah kezaliman.
Jangan
pernah menganggap remeh hutang walaupun sedikit dan jangan
membiasakan untuk hutang hanya karena ingin memuaskan nafsu ataupun gaya-gayaan
agar disegani dan di hormati oleh orang lain. Misalnya saja membeli sebuah motor
vario, karena ingin dapat pujian ataupun perhatian dari orang lain, padahal
kalau di lihat dari segi ekonomi merupakan bagian dari orang-orang yang pertama
yang berhak menerima zakat,dan membelinya dengan cara kredit yaitu dengan uang
muka 500rb sehingga sudah bisa membawa pulang motor,tetapi angsuran harga
yang harus dilunasi akan benilai lebih dibanding dengan harga kontannya, dan
itu akan memakan waktu beberapa bulan ,padahal kita tidak mengetahui umur ini
akan berhenti.
Sekali
lagi berusahalah sebisanya menghindari
hutang semaksimal mungkin. Karena hutang, bisa menyebabkan kesedihan di malam hari di
karenakan selalu memikirkan hutangnya dan kehinaan di siang hari di karenakan
malu. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah
: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas
berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Dan ketika sampai ajal menjemput belum bisa
membayar hutang maka akan menimbulkan penyesalan yang mendalam dan termasuk
dari orang-orang yang merugi. Selain jiwanya akan terkatung-katung karena
hutangnya, juga akan menghadirkan beberapa akibat , misalnya : Amal kebaikannya akan terpotong (Dari
Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka
hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena
di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)), dianggap pencuri oleh Allah SWT (Dari Shuhaib Al Khoir,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang
berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada
hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)), dan juga ketika mati syahid semua
dosanya akan di ampuni kecuali hutang nya. Nabi bersabda“Semua dosa
orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim)
Na’udzubillah min dzalik semoga ini
bisa menjadi perenungan kita agar segera bayar hutang jika mampu melunasinya,
kalau pun belum bisa, maka minta
maaflah pada yang memberi hutang dan memohon untuk di beri waktu lagi sampai
bisa membayar hutang. Selama ada niat bayar pasti Allah SWT akan memberi
jalannya, “Siapa yang mengambil harta manusia & berkehendak membayarnya,
maka Allah (membantu) akan membayarkannya & siapa yang mengambilnya
berkehendak menghilangkannya, maka Allah menghilangkannya (HR Bukhari). Karena tanpa disadari,
seorang yang berhutang akan tersiksa dengan hutangnya secara tidak langsung.
Rasulullah SAW pun berdoa untuk terhindar dari lilitan hutang , beliau berdoa :
“ Ya Tuhanku! Aku berlindung diri
kepadaMu dari berbuat dosa dan hutang. Kemudian ia ditanya: Mengapa Engkau
banyak minta perlindungan dari hutang ya Rasulullah? Ia menjawab: Karena
seseorang kalau berhutang, apabila berbicara berdusta dan apabila berjanji
menyalahi." (HR Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar