Senin, 08 Januari 2018

HADIST TENTANG HUTANG

   HADIST TENTANG HUTANG
(MAKNA GLOBAL & MAKNA KONSTEKTUAL)
  

   A.    MATAN HADIST
نَفْسُ المُؤْمِنِ مُعَلَّعَقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ (رواه أحمد والترمذى)

   B.     TERJEMAHAN
Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung karena hutangnya, sampai ia dibayarkan.”(H.R.Ahmad dan Tirmidzi).

   C.    PENJELASAN (MAKNA GLOBAL)
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. Dan jiwanya akan terkatung-katung, maksudnya ialah tidak akan merasa tenang dan terus merasa terbebani sehingga dapat membayar hutang. 

   D.    MAKNA KONTSEKTUAL
Kehidupan bagai roda yang terus berputar, terkadang di atas dan terkadang di bawah.Kondisi manusia pun tidak jauh berbeda.Terkadang penuh kelapangan, dan terkadang kekurangan dan membutuhkan bantuan. Karena itulah, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita, hutang piutang tidaklah menjadi sesuatu yang asing.Begitu pula Syariat Islam yang indah juga melihat secara umum, bahwa aktifitas hutang piutang atau pinjam meminjam, sejatinya adalah salah satu bentuk pelaksanaan ajaran tolong menolong antara manusia yang sangat dianjurkan dalam Islam.
Allah SWT berfirman : Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan dalam melaksanakan takwa, dan jangan kamu bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan. (QS Al-Maidah : 2)
Islam mengatur hubungan yang  kuat antara akhlak, akidah, ibadah, dan muamalah. Aspek muamalah merupakan aturan main bagi manusia dalam menjalankan kehidupan sosial, sekaligus merupakan dasar untuk membangun sistem perekonomian yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ajaran muamalah akan menahan manusia dari menghalalkan segala cara untuk mencari rezeki. Muamalah mengajarkan manusia memperoleh rezeki dengan cara yang halal dan baik. Dan salah satu aspek dalam Muamalah ialah hutang piutang atau pinjam meminjam.
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilahAl-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. (Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya. (Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29).
Jadi jika disimpulkan, Hutang piutang adalah suatu akad atau transaksi memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar atau mengembalikan barang tersebut dengan jumlah yang sama.
Dalam pengertian yang umum, hutang-piutang mencakup transaksi jual beli dan sewa menyewa yang dilakukan secara tidak tunai. Pemahaman masyarakat tentang hutang-piutang dan pinjam-meminjam sangat bervariasi. Salah satunya adalah dengan menggunakan standar harga barang. Praktik Utang-piutang berstandar harga barang dalam tulisan ini terjadi dengan cara seseorang membutuhkan uang untuk suatu keperluan, lalu meminjam uang sejumlah yang dibutuhkan sesuai kesepakatan (misalnya Rp. 1.000.000,-) yang pada saat peminjam meminjam uang sebesar itu akan dapat membeli pupuk sebanyak 10 sak, lalu pada saat dikembalikan, misalnya tahun depan dikembalikan seharga 10 sak pupuk, yang sangat mungkin harganya lebih tinggi dari harga pada tahun sebelumnya (misalnya Rp 1.500.000,-). Cara ini sangat rasional dan sangat memenuhi rasa keadilan. Si pemberi pinjaman telah memberikan kesempatan uangnya dipergunakan oleh peminjam dalam jangka waktu satu tahun, hal ini sangat membantu peminjam. Sementara, pemberi pinjaman tidak dirugikan karena barang yang diperoleh dengan uang yang dimiliki pada tahun ketika ia memperpinjamkan uangnya dengan saat dikembalikan uang tersebut masih sama. Akan tetapi, utang-piutang model ini tetap tidak diakadkan dengan barang, hanya saja diandaikan dengan harga barang yang riil dan mengikuti kemungkinan naik dan turun harga.
Adapun hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi   pernah berhutang.. Hukum hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islami. Memberi hutang hukumnya sunnah, sama halnya tolong menolong dalam bidang yang lain. Dalam sabda Nabi saw yang artinya :”Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu suka menolong saudaranya “ (H.R.Muslim). Memberikan hutang kadang-kadang dapat menjadi wajib seperti menghutangi orang yang terlantar atau yang sangat hajat. Dan tidak ada keraguan lagi bahwa hal ini adalah suatu pekerjaan yang amat besar faedahnya terhadap masyarakat ,karena masyarakat satu sama lain hajat menghajatkan pertolongan.  Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah  : “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi   pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,  “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Nabi  juga bersabda: “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil).
Aktifitas hutang piutang memang bukanlah hal yang tercela dan meminta pinjaman itu juga di perbolehkan , karena kebutuhan manusia memang banyak. Dan untuk kebutuhan yang mendesak berhutang dapat menjadi jalan keluar yang terbaik dari pada melakukan pencurian karena kebutuhan tersebut, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Serta sejak awal syariat kita menganjurkan kepada kita untuk menahan diri agar tidak berhutang kecuali “benar-benar terpaksa”.
Bahkan anjuran untuk menghindari hutang ini digambarkan dalam beberapa riwayat, dimana Rasulullah   pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya yang hadistnya ialah “Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut.Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari)
            Ketika seseorang telah berhutang terhadap orang lain, maka disitu memiliki tanggung jawab untuk membayarnya waktu tempo perjanjiannya tiba, hutang yang sudah di pinjamkan tidak boleh mengundurkan waktu untuk membayarnya, dan tidak boleh menyianyiakan hutang nya hingga tempo sudah melebihi yang dijanjikan, banyak terjadi sekarang yang melalaikan terhadap hutang yang di pinjamkannya, akhirnya melupakan diri terhadap pembayarannya.
Serta banyak diantara para pengutang yang sanggup membayar utangnya, tetapi ada rasa enggan membayarnya sehingga mengganggap hal semacam itu adalah tidak berarti dan tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap pembayaran utang yang sesungguhnya padahal banyak yang terjadi dikalangan zaman sekarang bahwa apabila sesorang menunda-nunda membayar utang sedangkan ia mampu membayarnya maka itu adalah sebuah kezaliman.            
Jangan pernah menganggap remeh hutang walaupun sedikit dan jangan membiasakan untuk hutang hanya karena ingin memuaskan nafsu ataupun gaya-gayaan agar disegani dan di hormati oleh orang lain. Misalnya saja membeli sebuah motor vario, karena ingin dapat pujian ataupun perhatian dari orang lain, padahal kalau di lihat dari segi ekonomi merupakan bagian dari orang-orang yang pertama yang berhak menerima zakat,dan membelinya dengan cara kredit yaitu dengan uang muka 500rb sehingga sudah bisa membawa pulang motor,tetapi angsuran harga  yang harus dilunasi akan benilai lebih dibanding dengan harga kontannya, dan itu akan memakan waktu beberapa bulan ,padahal kita tidak mengetahui umur ini akan berhenti.
Sekali lagi berusahalah sebisanya menghindari hutang semaksimal mungkin. Karena hutang, bisa menyebabkan kesedihan di malam hari di karenakan selalu memikirkan hutangnya dan kehinaan di siang hari di karenakan malu. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah : “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
 Dan ketika sampai ajal menjemput belum bisa membayar hutang maka akan menimbulkan penyesalan yang mendalam dan termasuk dari orang-orang yang merugi. Selain jiwanya akan terkatung-katung karena hutangnya, juga akan menghadirkan beberapa akibat , misalnya : Amal kebaikannya akan terpotong (Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)), dianggap pencuri oleh Allah SWT (Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)), dan juga ketika mati syahid semua dosanya akan di ampuni kecuali hutang nya. Nabi bersabda“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim)
Na’udzubillah min dzalik semoga ini bisa menjadi perenungan kita agar segera bayar hutang jika mampu melunasinya, kalau pun belum bisa, maka minta maaflah pada yang memberi hutang dan memohon untuk di beri waktu lagi sampai bisa membayar hutang. Selama ada niat bayar pasti Allah SWT akan memberi jalannya, “Siapa yang mengambil harta manusia & berkehendak membayarnya, maka Allah (membantu) akan membayarkannya & siapa yang mengambilnya berkehendak menghilangkannya, maka Allah menghilangkannya (HR Bukhari). Karena tanpa disadari, seorang yang berhutang akan tersiksa dengan hutangnya secara tidak langsung. Rasulullah SAW pun berdoa untuk terhindar dari lilitan hutang , beliau berdoa :

“ Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadaMu dari berbuat dosa dan hutang. Kemudian ia ditanya: Mengapa Engkau banyak minta perlindungan dari hutang ya Rasulullah? Ia menjawab: Karena seseorang kalau berhutang, apabila berbicara berdusta dan apabila berjanji menyalahi." (HR Bukhari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar