Minggu, 07 Januari 2018

MAKALAH KONSEP CONTROLLING MANAJEMEN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN & HADITS

MAKALAH KONSEP CONTROLLING MANAJEMEN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN & HADITS


BAB I
PENDAHULUAN

     A.    Latar Belakang Masalah
Sebuah lembaga pendidikan formal, sosok pemimpin merupakan aspek yang sangat mempengaruhi gerak dan hasil kerja personalnya. Untuk menyiasati agar pimpinan lembaga pendidikan Islam dapat melakukan perannya secara maksimal, maka peningkatan dalam manajemen merupakan salah satu pilihan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Apabila tidak dilaksanakan, maka tujuan pendidikan (termasuk di dalamnya pembelajaran) tidak mungkin dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Dalam kondisi  seperti  ini,  secara  tidak  langsung  tumbuh kesadaran akan pentingnya manajemen, karena di dalamnya memberikan kewenangan penuh kepada pimpinan lembaga pendidikan Islam beserta wakilnya, dan para guru dalam mengatur pendidikan dan pengajaran, merencanakan, mengorganisasi, mengawasi, mempertanggungjawabkan, mengatur dan memimpin sumber daya manusia, serta sarana penunjangannya untuk membantu pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan di lembaga pendidikan Islam tersebut.
Berbicara masalah manajemen tentunya tidak bisa lepas dengan empat komponen yang ada yaitu (POAC) planning, organizing, actuating dan controlling.  Dalam konteks manajemen, kegiatan pengawasan dilakukan oleh seorang manajer dalam rangka mengendalikan perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing) dan pengawasan (controlling) yang telah diformat dalam suatu program. Disamping pengawasan dalam makalah ini, akan dibahas mengenai pertanggungjawababn sebagai upaya mencapai kepercayaan publik terhadap kepemimpinan yang dijalankan menurut Al-Qur’an dan Hadist

    B.    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian controlling dalam manajemen pendidikan ?
2.      Bagaimana ayat-ayat al-Qur’an yang yang berkaitan dengan controlling ?
3.      Bagaimana syarah hadist-hadist yang yang berkaitan dengan controlling




BAB II
PEMBAHASAN

    A.    Pengertian Controlling dalam Manajemen Pendidikan
Dalam setiap bentuk kepemimpinan, maka proses pengawasan atau ar-riqobah merupakan suatu yang harus ada dan harus dilaksanakan. Kegiatan ini untuk meneliti dan memerikasa apakah pelaksanaan tugas-tugas perencanaan betul-betul dikerjakan atau tidak. Hal ini juga untuk mengetahui apakah ada penyimpangan, penyalahgunaan dan kekurangan dalam pelaksanaannya, jika ada maka perlu untuk direvisi. Dengan demikian semua hal tersebut dapat menjadi bukti dan perhatian serta sebagai bahan bagi pimpinan untuk memberikan petunjuk yang tepat pada tahap berikutnya.
Adapun pengertian pengawasan (Controlling) dapat dikemukakan sebagai berikut: Pengawasan adalah proses memonitor aktivitas untuk memastikan aktivitas-aktivitas tersebut diselesaikan sesuai dengan yang direncanakan dan memperbaiki setiap deviasi yang signifikan.[1] Dengan kata lain apakah aktivitas itu suadah sesuai rencana atau tidak, jika tidak maka perlu adanya suatu revisi. Menurut Robinson control sebagai proses memonitor aktivitas-aktivitas untuk mengetahui apakah individu-individu dan organisasi itu sendiri memperoleh dan memanfaatkan sumber-sumber secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuannya, dan memberikan koreksi bila tidak tercapai.[2] Disini control diartikan sebagai kendali agar performan petugas dan output sesuai rencana.
Pengawasan adalah keseluruhan upaya pengamatan pelaksanaan kegiatan operasional guna menjamin bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Bahkan Didin dan Hendri menyatakan bahwa dalam pandangan Islam pengawasan dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak.[3]  Dalam pendidikan Islam pengawasan didefinisikan sebagai proses pemantauan yang terus menerus untuk menjamin terlaksananya perencanaan secara konsekwen baik yang bersifat materil maupun spirituil. Menurut Ramayulis pengawasan dalam pendidikan Islam mempunyai karakteristik sebagai berikut: pengawasan bersifat material dan spiritual, monitoring bukan hanya manajer, tetapi juga Allah SWT, menggunakan metode yang manusiawi yang menjunjung martabat manusia.[4]
Dengan karakterisrik tersebut dapat dipahami bahwa pelaksana berbagai perencaan yang telah disepakati akan bertanggung jawab kepada manajernya dan Allah sebagai pengawas yang Maha Mengetahui. Di sisi lain pengawasan dalam konsep Islam lebih mengutamakan menggunakan pendekatan manusiawi, pendekatan yang dijiwai oleh nilai-nilai keislaman.
Pengontrolan biasa juga disebut dengan pengawasan. Fungsi dari pengawsan adalah mengidentifikasi efektifitas organisasi berdasarkan perencanaan yang telah dibuat. Demikian pula pengawasan meliputi efisiensi dari masing-masing program, pengorganisasian, dan pemimpinan. Pengawasan diperlukan sebagai pertimbangan dalam menentukan kebijakan organisasi (pendidikan) pada masa selanjutnya.[5] Dalam kasus manajemen kesiswaan, pengontorolan mutlak dibutuhkan untuk bahan evaluasi perbaikan program pada masa yang akan datang. Di samping itu semangat kerja para staf akan termotivasi apabila pimpinan sekolah memberikan arahan dan penghargaan terhadap prestasi kerja mereka.
Controlling  itu  penting  sebab  merupakan  jembatan  terakhir dalam rantai fungsional kegiatan-kegiatan manajemen. Pengendalian merupakan salah satu cara para manajer untuk mengetahui apakah tujuan-tujuan organisasi itu tercapai atau tidak dan mengapa tercapai atau tidak tercapai. Selain itu Controlling adalah sebagai konsep pengendalan, pemantau efektifitas dari perencanaan, pengorganisasian, dan kepemimpinan serta pengambilan perbaikan pada saat dibutuhkan.

    B.    Tafsir Ayat Surat Al-Qur’an Mengenai Controlling dalam Manajemen Pendidikan
1.    Qs at-Tahriim ayat 6
       يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
 Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Pada QS at-Tahrim ayat ini terdapat kata قُوْا أَنْفُسَكُمْ  yang berarti buatlah suatu penghalang datangnya siksaan api neraka dengan cara menjauhkan perbuatan maksiat, memperkuat diri agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat menjalankan perintah Allah. Selanjutnya وَأَهْلِيْكُمْ , maksutnya adalah keluargamu yang terdiri dari istri, anak, pembantu, dan budak diperintahkan kepada mereka agar menjaganya dengan cara memberikan bimbingan, nasehat, dan pendidikan kepada mereka. Hal ini sejalan dengan hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibn al-Munzir, al-Hakim, dan oleh riwayat lain dari Ali ra, ketika menjelaskan ayat tersebut, maksutnya adalah berikanlah pendidikan dan pengetahuan mengenai terhadap dirimu dan keluargamu. Kemudian وَقُوْدُ adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalakan api. Sedangkan الْحِجَارَةٌ adalah batu berhala yang disembah oleh masyarakat jahiliyyah. مَلَئِكَةٌ  maksutnya malaikat yang bertugas menjaga neraka. Selangkan غِلَاظُ  maksutnya adalah hati yang keras, yaitu hati yang tidak memiliki belas kasihan apabila ada orang yang meminta dikasihani. Dan شِدَادٌ  artinya memiliki kekuatan yang tidak dapat dikalahkan.[6]
Ayat di atas memberikan gambaran bahwa dakwah dan pendidikan harus diawali dari lembaga yang paling kecil, yaitu diri sendiri dan keluarga menuju yang besar dan luas. Ayat tersebut awalnya berbicara masalah tanggung jawab pendidikan keluarga, kemudian diikuti dengan akibat dari kelalaian tanggung jawab yaitu siksaan, al-Qur’an menyebutkan bahan bakar neraka, bukan model dan jenis siksaannya. Sementara bahan bakar siksaan di dalam ayat di atas digambarkan berasal dari manusia. Hal ini mengisyaratkan bahwa kegagalan dalam menanamkan nilai-nilai pada diri manusia berawal pada kegagalan dalam mendidik masa kecilnya, dalam lembaga yang terkecil yaitu keluarga. Kegagalan pendidikan dalam usia dini, akan menyebabkan manusia terbakar emosinya oleh dirinya sendiri yang tidak terarahkan pada usia dininya.[7]
Pengertian tentang pentingnya membina keluarga agar terhindar dari siksaan api neraka ini tidak hanya semata-mata diartikan api neraka yang di akhirat nanti. Melainkan termasuk pula berbagai masalah dan bencana yang menyedihkan, merugikan, dan merusak citra pribadi seseorang.[8] Jelasnya ayat ini berisi perintah atau kewajiban terhadap keluarga agar mendidik hukum-hukum agama kepada mereka. Hal yang demikian sejalan dengan hadist yang mengatakan bahwa Allah memberikan kasih sayang kepada seseorang yang mengatakan bahwa sembahyangnya, puasanya, zakatnya, ibadah hajinya, anak yatimnya, tetangganya, mudah-mudahan dapat mengumpulkan mereka di surga pada hari kiamat.
Kaitannya Controlling dalam surat At Tahrim ayat 6 ini yaitu adanya control atau pengawasan mulai dari sendiri dan keluarga maupun anak untuk senantiasa taat dan melaksanakan perintah Allah supaya kelak nantinya mereka terhindar dari api neraka. Dan dalam tafsiran ayat ini bisa diambil kesimpulan bahwa kepala rumah tangga sebagai peminpin dalam keluarga wajib mengingatkan atau melakukan pengawasan kepada istri, anak maupun saudara untuk senantiasa taat pada perintah Allah.
Ini berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan masing-masing dalam pemberdaayaan potensi bakat minat, sikap, wawasan pendidikan, seni dan sosial budaya meliputi oleh nilai-nilai agama, etika dan estetika serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis. Sebagaimana tugas utama seorang pemimpin dalam ruang lingkup yang lebih luas harus mampu menjaga keselamatan dan kesuksesan institusi atau organisasi tersebut, baik organisasi keluarga maupun organisasi universal. Bagaimana manajer bisa mengontrol orang lain sementara dirinya sendiri masih belum terkontrol. Dengan demikian seorang manajer harus menjadi orang terbaik dan harus mengontrol seluruh anggotanya dengan baik.

2.    Qs at-Taubah ayat 105
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya : “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Allah memerintahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW supaya menyampaikan kepada  orang-orang  yang  bertaubat  agar  bekerja  untuk  meraih  kebahagian dunia  dakebahagiaan  akhirat,  serta  bekerja  untuk  dirimu  dabangsamu, karena kerja merupakan kunci kebahagiaan, bukan sekedar alasan yang dikemukakan ketika tidak mengerjakan sesuatu, atau hanya sekedar mengaku giat  dan  bekerja  keras.  Serta  Allah  akan  melihat  pekerjaan  yang  dilakukan umat manusia, baik pekerjaan buruk maupun pekerjaan buruk. Dan Allah mengetahui  tentang  tujuan  dari  pekerjaan  manusia  serta  niat-niat  manusia, walaupun tidak diucapkan.[9]
Allah melihat apa yang dikerjakan oleh manusia. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk Allah yang beriman wajib takut kepada Allah dalam bekerja, supaya senantiyasa berada pada batasan-batasan  syariat-Nya. Rasulullah dan seluruh kaum muslimin akan mengetahui amal yang dikerjakan oleh manusia, dan mereka akan menimbangnya dengan timbangan iman yang dapat membedakan mana yang ikhlas dan mana yang munafik. Mereka tidak hanya mengethui amal manusia,  akan tetapi mereka akan menjadi  saksi atas orang lain.
Ayat ini bertujuan untuk mendorong umat manusia agar mawas diri dan mengawasi amal-amal mereka, dengan cara mengingatkan mereka  bahwa  setiap  amal  yang  baik  dan  buruk  memiliki hakikat yang tidak dapat disembunyikan, dan mempunyai saksi-saksi yang mengetahui dan melihat hakikatnya, yaitu Rasul saw, dan saksi-saksi dari umat muslim  setelah  Allah  SWT.  Setelah  ituAllaakan  membuka  tabiyang menutupi mata mereka yang mengerjakan amal-amal tersebut pada hari kiamat, sehingga mereka pun mengetahui dan melihat hakikat amal mereka sendiri.[10]
Pada hari kiamat, manusia akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui  segala  rahasia  manusia  damengetahui  semua  perkara  yang manusia perlihatkanAllah pada hari kiamat akan menerangkan  semua amal perbuata manusi serta   memberika balasa yang  sesua dengan   amal perbuatan manusia di muka bumi. Jika manusia ketika dimuka bumi amalnya baik,  tentu  akan  mendapatkan  pembalasan  yang  baik  pula.  Sebaliknya,  jika manusia  bernuat  maksiat,  maka  pasti  akan  mendapatkan  siksa  dari  Allah. Dan sepatutnya manusia mengoreksi dirinya dalam bertingkah laku. Dan bagi orang mumin tidak cukup hanya meninggalkan  kemaksiatasaja, akan tetapi harus
Dari uraian tafsir tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam hal ini Allah sebagai pengawas memberikan pemberdayaan kepada Rasulullah SAW melalui dengan pemberian wewenang & memberikan kepercayaan untuk menyuruh orang-orang selalu melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan untuk orang lain. Karena semua amal akan dilihat oleh Allah, Rasul, serta para mukminin, dan akan diperlihatkan oleh Allah di hari kiamat kelak, kemudian akan mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya   ketika  dimuka  bumi.  Jika  amal  perbuatan  yang  baik  akan mendapat pahala, dan jika perbuatannya jelek akan mendapat siksa. Semua perbuatan manusia akan dikembalikan oleh ẓat yang mengetahui hal ghaib dan hal yang tampak, serta setelah hari kebangkitan semua amal perbuatan di dunia akan diperlihatkan oleh Allah SWT, baik perbuatanya disaksikan oleh manusia maupun tidak disaksikan oleh manusia. Dan amal perbuatan  manusia  akan  memperoleh  balasan  dari  Allah  SWT,  jika  beruat bijak, maka akan mendapat pahala, dan jika berbuat maksiat akan mendapat siksa.
Sehingga setiap orang atau kelompok dapat memahami apa yang akan dilaksanakannya, yang pada akhirnya akan berimplikasi pada peningkatan pencapaian tujuan secara efektif dan efisien yang disertai dengan perilaku yang bermanfaat, dan selalu menunjukkan etos kerja demi kepentingan bersama dalam konteks manajemen.

3.  Qs ar-Ra’d ayat 8
أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ ۗ مَا خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ
  
Artinya : “Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.”

Pengetahuan Allah SWT sejak dahulu, sekarang dan terus menerus mengetahui keadaan janin sejak masih berbentuk nuthfah, menjadi alaqoh, terus menjadi mudghoh, sampai bertumbuh menjadi rupanya yang menarik atau tidak menarik, warna kulitnya akan hitam manis atau putih, apa akan menjadi laki-laki atau perempuan, dan sejak mulai dikandung bahkan sejak sebelum mulai dikandung. Oleh karena itu, Dia mengetahui keadaan janin laki-laki atau perempuan yang dikandung dalam rahim setiap wanita sampai selesai masa kehamilan dan sempurnalah pertumbuhan janin dan lahirlah ia ke alam dunia.[11]
Tentang وَمَا تَغِيضُ الأرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ, penggalan ayat di samping berbicara tentang hal yang berkaitan dengan rahim pada saat kehamilan. Yaitu pertama apa yang dikandung oleh rahim yaitu janin, dalam hal ini rahim memeliharanya. Apa yang berkurang di dalam rahim yaitu darah haid yang diolah oleh rahim menjadi makanan janin. Dan yang ketiga adalah yang bertambah yaitu darah nifas yang dikeluarkan oleh rahim setelah melahirkan. Ada juga yang berpendapat bahwa dalam arti waktu yang berkurang dari masa kehamilan normal atau berlebih dari masal normal kehamilan itupun sudah dalam pengetahuan Allah SWT.[12]
Bagi Allah, segala sesuatu telah dibatasi kadar dan waktunya. Allah mengetahui janin yang dikandung oleh rahim setiap wanita, dan mengetahui berbagai fase yang terjadi. Sejak rahim itu masih kecil, ketika sperma mulai menghilang menjelma dalam bentuk lain, kemudian membesar dari hari ke hari, sampai akhirnya sperma itu menjadi janin yang siap dilahirkan.
Dalam penjelasan yang lain mengenai lafadz وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ yaitu tentang takaran-takaran yang telah di ukur dari berbagai unsur-unsur campuran yang ada pada manusia baik ketika dalam kandungan ataupun setelah dilahirkan. Seperti gizi, kalori, vitamin, dan lain sebagainya. Selain itu menurut Qatadah sebagaimana dikutip oleh  mengenai arti ukuran dalam penggalan ayat tersebut, yaitu mengenai ketentuan ajal. Yakni dipelihara Allah rezeki makhluk-Nya dan ajalnya, dan semuanya itu dengan ketentuan yang pasti.[13]
Ayat di atas menjelaskan bahwasannya Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada rahim seorang perempuan dan juga menentukan ketentuan-ketentuan-Nya yang sesuai. Dalam hal ini Allah melakukan upaya pengamatan pada seluruh yang terjadi pada harim perempuan dan menentukan semuanya sesuai yang telah direncanakan oleh Allah. Jadi seyogyanya seseorang dalam melakukan pengewasan harus mengetahui seluruh pelaksanaan kegiatan operasional guna menjamin bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pengawasan dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang benar. Karena pengawasan sebagai proses pemantauan yang terus menerus untuk menjamin terlaksananya perencanaan secara konsekwen baik yang bersifat materil maupun spirituil dan  suatu usaha agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya.

          C.    Syarah Hadist Tentang Controlling dalam Manajemen Pendidikan
1.    Dari Abu Barzah Al-Aslami, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أربع : عن عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ.
Artinya “Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sampai ditanya tentang empat perkara: (1) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, (2) tentang ilmunya, sejauh mana dia amalkan, (3) tentang hartanya, dari mana dia dapatkan dan untuk apa harta tersebut dibelanjakan, dan (4) tentang tubuhnya, untuk apa dia gunakan." (HR. At-Tirmidzi disohihkan Al-Albany dalam Ash-Shohihah, 946)

Hadist diatas menjelaskan tentang  tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sampai ia ditanya tentang 4 perkara: 
Pertama, ditanya tentang umurnya, kesempatan dia hidup di dunia ini, untuk apa ia gunakan. Apakah dengan usia atau kesempatan itu dia gunakan untuk berfoya-foya, ataukah dia tidak merasa bahwasanya dia akan dikembalikan oleh Allah di hari kiamat nanti.  Jangan sampai kita menyesal seperti penyesalannya orang kafir ketika lalai akan datangnya kematian, kemudian nyawanya dicabut dalam keadaan belum bertaubat kepada Allah, maka apa yang terjadi kemudian.
Kedua, tentang ilmunya, sejauh mana dia amalkan ilmunya. Kita menuntut ilmu ini tidak dibiarkan begitu saja oleh Allah, akan tetapi kita dituntut untuk mengamalkannya. Karena hakekat tujuan ilmu adalah pengamalannya. Allah akan meminta pertanggungjawaban tentang pengamalan ilmu yang kita pahami. Maka hendaknya kita bersungguh-sungguh untuk mencari ilmu, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
 Ketiga, tentang hartanya, dari mana ia dapatkan harta tersebut dan untuk apa harta tersebut dibelanjakan. Apakah harta tersebut dia peroleh dari jalan yang halal, ataukah harta tersebut diperoleh dari hal-hal yang haram.
Keempat, tentang tubuhnya, untuk apa dia gunakan di dunia ini. Apakah tubuh tersebut dia gunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Dia lahir dalam keadaan tidak memiliki apa-apa, kemudian Allah karuniakan kepadanya penglihatan dan pendengaran. Dengan itu apakah dia bisa mengemban amanah dari Allah tersebut, yaitu menjaga pendengarannya, penglihatan, dan hatinya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Allah mengingatkan bahwa dihari kiamat semua tubuh kita menjadi saksi atas perbutan kita didunia.[14]
Penjelasan mengenai hadist diatas bahwasannya semua yang ada pada diri manusia mulai dari umur, ilmu, tubuh, dan harta akan dimintai pertanggungjawaban. Tentang bagaimana semua bidang tersebut digunakan oleh manusia, apakah untuk kebaikan atau keburukan. Menanamkan jiwa pengawasan terhadap diri sendiri sangatlah penting. Karena beperan penting dalam hubungan seseorang dengan orang lain. Hal ini dikarenakan kita senantiasa hidup dalam kelompok atau masyarakat dan tidak bisa hidup sendirian. Selain itu pengawasan diri sendiri berperan dalam pencapaian tujuan pribadi. Hal ini dikarenakan bahwa seseorang yang mampu mengatur dirinya sendiri dari perbuatan yang merugikan diri sendiri atau orang lain akan lebih mudah fokus terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai, mampu memilih tindakan yang lebih bermanfaat, dan menunjukkan kematangan emosi.

2.    Dari Abu Ya’la Syidad bin Aus r.a, Rasulullah SAW bersabda :
عن ابي يعلى شداد ابن اوس رضي الله عنه قال قال رسول الله ص م الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ (رواه الترميذي)
Artinya : “Orang yang cerdas itu adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya, dan mengerjakan untuk kehidupan setelah kematian. Dan yang lemah itu adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berandai-andai kepada Allah.” (HR. Turmudzi).[15]

Al-Kaisu, orang yang cerdas yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw adalah orang yang mampu dengan bijak mengendalikan hawa nafsunya untuk tunduk dan taat terhadap perintah Allah Swt serta menjahui segala larangan-larangan-Nya. Ungkapan senada dapat kita temukan juga dalam hadits Rasulullah Saw lain, yang menyebutkan bahwa orang yang paling berani itu adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya. Dan juga jihad yang lebih besar daripada peperangan mengangkat senjata, adalah jihad melawan hawa nafsu.
Kata dana pada hadits tersebut disyarah oleh para ulama dengan beberapa pengertian, di antaranya al-khudu’ yang bermakna ketundukan atau ketaatan. Adapun makna lain dari lafaz dana selain al-khudu’, ialah muhasabah, yakni mengintropeksi diri. Jadi orang-orang yang cerdas itu adalah orang yang senantiasa mengintropeksi dirinya, dan melakukan perbaikan. Orang-orang seperti ini memiliki visi dan misi jauh ke depan, tidak hanya menyiapkan bekal untuk dunia, tapi juga untuk akhiratnya. Demikianlah Islam mengajarkan umatnya menjadi orang-orang yang sukses dunia akhirat. Memotivasi untuk optimis dan berbuat lebih baik dan yang terbaik, dengan menyandarkannya semua kepada Allah Swt.[16]
Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengontrol atau mengawasi jiwanya sendiri sebelum mengawasi orang lain, apalagi menilainya. Pengawasan  inilah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai kunci pertama dari kesuksesan. Karena sekali lagi, orang yang sukses akan selalu memperhatikan mengevaluasi dari kinerja pribadi yang telah dilakukannya. Orang yang pandai yang mampu mengontrol nafsu sendiri senantiasa akan mengevaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri.
Sementara banyak sekali pribadi-pribadi maupun institusi yang mengevaluasi kinerja atau aktivitasnya lantaran orang lain, atau agar dinilai ‘baik’ oleh pihak lain. Jadi pengawasan yang dimulai dari diri sendiri itu sangatlah penting. Dikarenakan apabila seseorang belum mampu mengendalikan jiwanya sendiri, dikhawatirkan ketika diberikan kepercayaan untuk melakukan control atau pengawasan terhadap seseorang, golongan, atau intitusi lain tidak akan dapat mewujudkan suatu tujuan yang telah dirumuskan. Membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak memiliki planning, tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan hidupnya. Dan orang yang seperti ini sudah akan terukur kegagalannya.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
pengawasan atau ar-riqobah merupakan suatu yang harus ada dan harus dilaksanakan. Kegiatan ini untuk meneliti dan memerikasa apakah pelaksanaan tugas-tugas perencanaan betul-betul dikerjakan atau tidak. Hal ini juga untuk mengetahui apakah ada penyimpangan, penyalahgunaan dan kekurangan dalam pelaksanaannya, jika ada maka perlu untuk direvisi. Dengan demikian semua hal tersebut dapat menjadi bukti dan perhatian serta sebagai bahan bagi pimpinan untuk memberikan petunjuk yang tepat pada tahap berikutnya.
Qs at-Tahriim ayat 6 menjelaskan tentang adanya control atau pengawasan mulai dari sendiri dan keluarga maupun anak untuk senantiasa taat dan melaksanakan perintah Allah supaya kelak nantinya mereka terhindar dari api neraka. Dan dalam tafsiran ayat ini bisa diambil kesimpulan bahwa kepala rumah tangga sebagai peminpin dalam keluarga wajib mengingatkan atau melakukan pengawasan kepada istri, anak maupun saudara untuk senantiasa taat pada perintah Allah.
Qs at-Taubah menjelaskan tentang Allah sebagai pengawas memberikan pemberdayaan kepada Rasulullah SAW melalui dengan pemberian wewenang & memberikan kepercayaan untuk menyuruh orang-orang selalu melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan untuk orang lain. Karena semua amal akan dilihat oleh Allah, Rasul, serta para mukminin, dan akan diperlihatkan oleh Allah di hari kiamat kelak, kemudian akan mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya   ketika  dimuka  bumi.
Qs ar-Ra’d ayat 8 menjelaskan tentang seyogyanya seseorang dalam melakukan pengewasan harus mengetahui seluruh pelaksanaan kegiatan operasional guna menjamin bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Hadist la tazula qadama abdin menerangkan tentang semua yang ada pada diri manusia mulai dari umur, ilmu, tubuh, dan harta akan dimintai pertanggungjawaban. Tentang bagaimana semua bidang tersebut digunakan oleh manusia, apakah untuk kebaikan atau keburukan. Menanamkan jiwa pengawasan terhadap diri sendiri sangatlah penting. Hadist al-Kayyisu menerangkan tentang orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengontrol atau mengawasi jiwanya sendiri sebelum mengawasi orang lain, apalagi menilainya.



DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi,TERAS, Yogyakarta, 2008
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Toha Putra, Semarang, 1993, Juz II
Amin Widjaja Tunggal, Manajemen Suatu Pengantar, Renika Cipta, Jakarta, 1993
Didin Hafidudin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Prkatik, Gema Insani, Jakarta, 2003
Hamka, Tafsir al-Azhar, Gema Insani, Jakarta, 2015, Jilid V
Imam an-Nawawi, Riyad al-Shalihin, Toha Putra , Semarang, tth
Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, Bina Aksara, Jakarta:, 1998
Moh. Mas’ud, Manajemen Personalia,Erlangga, Jakarta, 1996
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, 2006
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia ,Jakarta, 2008





[1] Amin Widjaja Tunggal, Manajemen Suatu Pengantar, Renika Cipta, Jakarta, 1993, hlm.343
[2] Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, Bina Aksara, Jakarta:, 1998, hlm.168
[3] Didin Hafidudin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Prkatik, Gema Insani, Jakarta, 2003, hlm.156
[4] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia ,Jakarta, 2008, hlm.274.
[5] Moh. Mas’ud, Manajemen Personalia,Erlangga, Jakarta, 1996, hlm.110
[6] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.198
[7]Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi,TERAS, Yogyakarta, 2008, hlm.116
[8] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.199-200
[9] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Toha Putra, Semarang, 1993, Juz II, hlm.35
[10] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, 2006, hlm.172
[11] Hamka, Tafsir al-Azhar, Gema Insani, Jakarta, 2015, Jilid V, hlm. 51
[12] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, 2006, hlm.551
[13] Hamka, Tafsir al-Azhar, Gema Insani, Jakarta, 2015, Jilid V, hlm. 51
[15] Imam an-Nawawi, Riyad al-Shalihin, Toha Putra , Semarang, tth, hlm 49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar