MAKALAH KONSEP CONTROLLING MANAJEMEN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN & HADITS
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebuah
lembaga pendidikan formal, sosok pemimpin merupakan aspek yang sangat
mempengaruhi gerak dan hasil kerja personalnya. Untuk menyiasati agar pimpinan
lembaga pendidikan Islam dapat melakukan perannya secara maksimal, maka
peningkatan dalam manajemen merupakan salah satu pilihan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Apabila tidak
dilaksanakan, maka tujuan
pendidikan (termasuk di dalamnya pembelajaran)
tidak mungkin dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Dalam kondisi seperti
ini,
secara
tidak
langsung
tumbuh kesadaran akan pentingnya manajemen, karena di
dalamnya memberikan kewenangan penuh kepada pimpinan lembaga pendidikan Islam beserta wakilnya,
dan para guru dalam mengatur pendidikan dan
pengajaran, merencanakan, mengorganisasi,
mengawasi, mempertanggungjawabkan, mengatur dan
memimpin sumber daya manusia, serta sarana penunjangannya untuk membantu
pelaksanaan pembelajaran
yang sesuai dengan tujuan di lembaga
pendidikan Islam
tersebut.
Berbicara
masalah manajemen tentunya tidak bisa
lepas dengan empat komponen
yang ada yaitu (POAC) planning,
organizing, actuating dan
controlling. Dalam konteks manajemen, kegiatan pengawasan
dilakukan oleh seorang manajer dalam rangka mengendalikan perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing) dan
pengawasan (controlling) yang telah diformat dalam suatu program. Disamping
pengawasan dalam makalah ini, akan dibahas mengenai pertanggungjawababn sebagai
upaya mencapai kepercayaan publik terhadap kepemimpinan yang dijalankan
menurut Al-Qur’an dan Hadist
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian controlling dalam
manajemen pendidikan ?
2. Bagaimana ayat-ayat
al-Qur’an yang yang berkaitan dengan controlling ?
3. Bagaimana syarah
hadist-hadist yang yang berkaitan dengan controlling
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Controlling dalam Manajemen
Pendidikan
Dalam setiap
bentuk kepemimpinan, maka proses pengawasan
atau ar-riqobah merupakan suatu yang harus
ada dan harus dilaksanakan.
Kegiatan ini untuk meneliti dan memerikasa apakah pelaksanaan tugas-tugas
perencanaan betul-betul dikerjakan atau tidak. Hal ini juga untuk mengetahui
apakah ada penyimpangan, penyalahgunaan
dan kekurangan dalam pelaksanaannya,
jika ada maka perlu untuk direvisi. Dengan demikian semua hal tersebut dapat
menjadi bukti dan perhatian serta sebagai bahan bagi pimpinan untuk memberikan
petunjuk yang tepat pada tahap
berikutnya.
Adapun pengertian pengawasan (Controlling) dapat dikemukakan sebagai
berikut: Pengawasan adalah proses memonitor
aktivitas untuk memastikan aktivitas-aktivitas tersebut diselesaikan
sesuai dengan yang direncanakan dan
memperbaiki setiap deviasi yang signifikan.[1]
Dengan kata lain apakah
aktivitas itu suadah sesuai rencana
atau tidak, jika tidak maka perlu adanya
suatu revisi. Menurut Robinson
control sebagai proses memonitor
aktivitas-aktivitas untuk mengetahui apakah individu-individu dan
organisasi itu sendiri memperoleh dan memanfaatkan sumber-sumber secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuannya, dan memberikan koreksi bila tidak
tercapai.[2] Disini control
diartikan sebagai kendali agar performan petugas dan output sesuai rencana.
Pengawasan
adalah keseluruhan upaya pengamatan
pelaksanaan kegiatan operasional guna menjamin bahwa kegiatan tersebut
sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan sebelumnya. Bahkan Didin
dan Hendri menyatakan bahwa dalam pandangan Islam pengawasan dilakukan
untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak.[3] Dalam pendidikan
Islam pengawasan didefinisikan sebagai
proses pemantauan yang terus menerus
untuk menjamin terlaksananya
perencanaan secara konsekwen baik yang bersifat materil maupun spirituil.
Menurut Ramayulis pengawasan dalam pendidikan Islam mempunyai karakteristik sebagai berikut: pengawasan bersifat
material dan spiritual, monitoring bukan hanya manajer, tetapi juga Allah SWT, menggunakan metode yang manusiawi yang menjunjung martabat manusia.[4]
Dengan karakterisrik tersebut dapat dipahami bahwa pelaksana berbagai perencaan yang
telah disepakati akan bertanggung jawab kepada manajernya dan Allah sebagai
pengawas yang Maha Mengetahui. Di sisi lain pengawasan dalam konsep
Islam lebih mengutamakan menggunakan pendekatan manusiawi, pendekatan yang dijiwai
oleh nilai-nilai keislaman.
Pengontrolan biasa juga disebut dengan pengawasan. Fungsi dari pengawsan adalah
mengidentifikasi efektifitas organisasi berdasarkan perencanaan yang telah
dibuat. Demikian pula
pengawasan meliputi efisiensi
dari masing-masing program, pengorganisasian, dan pemimpinan. Pengawasan
diperlukan sebagai pertimbangan dalam menentukan kebijakan organisasi
(pendidikan) pada masa selanjutnya.[5]
Dalam kasus manajemen kesiswaan,
pengontorolan mutlak dibutuhkan untuk bahan evaluasi
perbaikan program pada masa yang akan
datang. Di samping itu semangat kerja para staf akan termotivasi apabila
pimpinan sekolah memberikan arahan dan
penghargaan terhadap prestasi kerja mereka.
Controlling
itu penting sebab
merupakan
jembatan
terakhir dalam rantai fungsional kegiatan-kegiatan manajemen. Pengendalian
merupakan salah satu cara para manajer untuk mengetahui apakah tujuan-tujuan
organisasi itu tercapai atau tidak dan mengapa tercapai
atau tidak tercapai. Selain itu Controlling adalah sebagai konsep
pengendalan, pemantau efektifitas dari perencanaan, pengorganisasian, dan
kepemimpinan serta pengambilan perbaikan pada saat dibutuhkan.
B. Tafsir Ayat Surat Al-Qur’an
Mengenai Controlling dalam Manajemen Pendidikan
1. Qs at-Tahriim
ayat 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Pada QS at-Tahrim ayat ini terdapat kata قُوْا أَنْفُسَكُمْ yang berarti buatlah
suatu penghalang datangnya
siksaan api neraka dengan cara menjauhkan perbuatan maksiat, memperkuat diri
agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat menjalankan perintah
Allah. Selanjutnya وَأَهْلِيْكُمْ , maksutnya
adalah keluargamu yang terdiri dari istri, anak, pembantu, dan budak
diperintahkan kepada mereka agar menjaganya dengan cara memberikan bimbingan,
nasehat, dan pendidikan kepada mereka. Hal ini sejalan dengan hadist Rasulullah
yang diriwayatkan oleh Ibn al-Munzir, al-Hakim, dan oleh riwayat lain dari Ali
ra, ketika menjelaskan ayat tersebut, maksutnya adalah berikanlah pendidikan
dan pengetahuan mengenai terhadap dirimu dan keluargamu. Kemudian وَقُوْدُ adalah
sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalakan api. Sedangkan الْحِجَارَةٌ adalah batu
berhala yang disembah oleh masyarakat jahiliyyah. مَلَئِكَةٌ maksutnya malaikat yang bertugas menjaga
neraka. Selangkan غِلَاظُ maksutnya adalah hati yang keras, yaitu hati
yang tidak memiliki belas kasihan apabila ada orang yang meminta dikasihani.
Dan شِدَادٌ artinya memiliki kekuatan yang tidak dapat
dikalahkan.[6]
Ayat di atas memberikan gambaran bahwa dakwah
dan pendidikan harus diawali dari lembaga yang paling kecil, yaitu diri sendiri
dan keluarga menuju yang besar dan luas. Ayat tersebut awalnya berbicara
masalah tanggung jawab pendidikan keluarga, kemudian diikuti dengan akibat dari
kelalaian tanggung jawab yaitu siksaan, al-Qur’an menyebutkan bahan bakar
neraka, bukan model dan jenis siksaannya. Sementara bahan bakar siksaan di
dalam ayat di atas digambarkan berasal dari manusia. Hal ini mengisyaratkan
bahwa kegagalan dalam menanamkan nilai-nilai pada diri manusia berawal pada
kegagalan dalam mendidik masa kecilnya, dalam lembaga yang terkecil yaitu
keluarga. Kegagalan pendidikan dalam usia dini, akan menyebabkan manusia
terbakar emosinya oleh dirinya sendiri yang tidak terarahkan pada usia dininya.[7]
Pengertian tentang
pentingnya membina keluarga agar terhindar dari siksaan api neraka ini tidak
hanya semata-mata diartikan api neraka yang di akhirat nanti. Melainkan
termasuk pula berbagai masalah dan bencana yang menyedihkan, merugikan, dan merusak
citra pribadi seseorang.[8]
Jelasnya ayat ini berisi perintah atau kewajiban terhadap keluarga agar
mendidik hukum-hukum agama kepada mereka. Hal yang demikian sejalan dengan
hadist yang mengatakan bahwa Allah memberikan kasih sayang kepada seseorang
yang mengatakan bahwa sembahyangnya, puasanya, zakatnya, ibadah hajinya, anak
yatimnya, tetangganya, mudah-mudahan dapat mengumpulkan mereka di surga pada
hari kiamat.
Kaitannya Controlling
dalam surat At Tahrim ayat 6 ini yaitu adanya control atau pengawasan mulai dari sendiri dan keluarga
maupun anak untuk senantiasa taat dan melaksanakan perintah Allah supaya kelak nantinya mereka terhindar dari api
neraka. Dan dalam tafsiran ayat ini bisa diambil
kesimpulan bahwa kepala rumah tangga sebagai peminpin dalam keluarga wajib
mengingatkan atau melakukan pengawasan kepada istri, anak maupun saudara untuk
senantiasa taat pada perintah Allah.
Ini berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga
pasangan masing-masing dalam pemberdaayaan potensi bakat minat, sikap,
wawasan pendidikan, seni dan sosial budaya meliputi oleh nilai-nilai agama,
etika dan estetika serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis. Sebagaimana tugas utama seorang pemimpin dalam
ruang lingkup yang lebih luas harus mampu menjaga keselamatan dan kesuksesan
institusi atau organisasi tersebut, baik organisasi keluarga maupun organisasi
universal. Bagaimana manajer bisa mengontrol orang lain sementara dirinya
sendiri masih belum terkontrol. Dengan demikian seorang manajer harus menjadi orang
terbaik dan harus mengontrol seluruh anggotanya dengan baik.
2. Qs at-Taubah
ayat 105
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya : “Dan Katakanlah:
"Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang
mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.”
Allah memerintahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW supaya menyampaikan kepada
orang-orang
yang bertaubat agar bekerja untuk meraih kebahagian
dunia dan kebahagiaan akhirat,
serta
bekerja
untuk
dirimu
dan bangsamu,
karena kerja merupakan kunci kebahagiaan, bukan sekedar alasan
yang dikemukakan ketika tidak mengerjakan sesuatu, atau hanya sekedar mengaku
giat dan
bekerja keras.
Serta Allah
akan melihat pekerjaan
yang
dilakukan
umat manusia, baik pekerjaan buruk maupun pekerjaan buruk. Dan Allah
mengetahui tentang tujuan dari
pekerjaan
manusia
serta
niat-niat
manusia, walaupun
tidak diucapkan.[9]
Allah melihat apa yang dikerjakan oleh manusia. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk Allah yang
beriman wajib takut kepada Allah dalam bekerja, supaya senantiyasa berada pada batasan-batasan
syari’at-Nya. Rasulullah dan seluruh kaum muslimin akan mengetahui amal yang dikerjakan oleh manusia,
dan mereka akan menimbangnya dengan timbangan iman yang dapat membedakan mana yang ikhlas dan
mana yang munafik. Mereka tidak hanya mengethui amal manusia, akan tetapi mereka akan menjadi saksi atas orang lain.
Ayat ini bertujuan untuk mendorong umat manusia agar mawas diri dan mengawasi amal-amal mereka, dengan cara mengingatkan mereka bahwa setiap amal yang baik
dan
buruk memiliki hakikat yang tidak dapat disembunyikan, dan mempunyai saksi-saksi yang mengetahui dan
melihat hakikatnya, yaitu Rasul saw, dan saksi-saksi dari umat muslim
setelah
Allah SWT.
Setelah itu, Allah akan membuka tabir yang menutupi mata mereka yang mengerjakan amal-amal tersebut pada hari kiamat, sehingga mereka pun mengetahui dan melihat hakikat amal mereka sendiri.[10]
Pada hari kiamat, manusia akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui segala
rahasia manusia
dan mengetahui
semua perkara
yang manusia perlihatkan. Allah pada hari kiamat akan menerangkan semua amal perbuatan manusia serta memberikan balasan yang sesuai dengan amal perbuatan manusia di
muka
bumi. Jika manusia ketika dimuka bumi amalnya baik, tentu akan
mendapatkan
pembalasan yang
baik pula. Sebaliknya, jika manusia bernuat maksiat, maka
pasti
akan mendapatkan siksa
dari Allah. Dan sepatutnya manusia mengoreksi dirinya dalam bertingkah laku. Dan bagi orang mu’min tidak
cukup hanya meninggalkan kemaksiatan saja, akan tetapi harus
Dari uraian tafsir tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam hal ini Allah sebagai pengawas memberikan pemberdayaan
kepada Rasulullah SAW melalui dengan pemberian wewenang &
memberikan kepercayaan untuk menyuruh orang-orang selalu melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan untuk orang lain. Karena semua amal akan dilihat oleh
Allah, Rasul, serta para mukminin, dan akan diperlihatkan oleh Allah di hari
kiamat kelak, kemudian akan
mendapatkan balasan sesuai
dengan amal perbuatannya ketika
dimuka
bumi. Jika
amal
perbuatan
yang
baik akan mendapat pahala, dan jika perbuatannya jelek akan mendapat siksa. Semua perbuatan manusia akan dikembalikan oleh ẓat yang mengetahui
hal ghaib dan hal yang tampak, serta setelah hari kebangkitan semua amal perbuatan di
dunia
akan diperlihatkan oleh Allah SWT, baik perbuatanya disaksikan oleh manusia maupun tidak disaksikan oleh manusia. Dan amal perbuatan manusia
akan memperoleh
balasan dari
Allah SWT, jika beruat bijak, maka akan mendapat pahala, dan jika berbuat maksiat akan mendapat siksa.
Sehingga setiap orang atau kelompok dapat memahami apa yang akan
dilaksanakannya, yang pada akhirnya akan berimplikasi pada peningkatan
pencapaian tujuan secara efektif dan efisien yang disertai dengan
perilaku yang bermanfaat, dan selalu menunjukkan etos kerja demi kepentingan
bersama
dalam konteks manajemen.
3. Qs ar-Ra’d
ayat 8
أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ ۗ مَا
خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ
وَأَجَلٍ مُسَمًّى ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ
لَكَافِرُونَ
Artinya : “Allah mengetahui apa yang dikandung
oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang
bertambah. dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.”
Pengetahuan Allah SWT sejak dahulu, sekarang
dan terus menerus mengetahui keadaan
janin sejak masih berbentuk nuthfah, menjadi alaqoh, terus
menjadi mudghoh, sampai bertumbuh menjadi rupanya yang menarik atau
tidak menarik, warna kulitnya akan hitam manis atau putih, apa akan menjadi
laki-laki atau perempuan, dan sejak mulai dikandung bahkan sejak sebelum mulai
dikandung. Oleh karena itu, Dia mengetahui keadaan janin laki-laki atau
perempuan yang dikandung dalam rahim setiap wanita sampai selesai masa
kehamilan dan sempurnalah pertumbuhan janin dan lahirlah ia ke alam dunia.[11]
Tentang وَمَا تَغِيضُ الأرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ, penggalan ayat di samping berbicara
tentang hal yang berkaitan dengan rahim pada saat kehamilan. Yaitu pertama apa yang dikandung oleh rahim yaitu janin, dalam hal
ini rahim memeliharanya. Apa yang berkurang di dalam rahim yaitu darah haid
yang diolah oleh rahim menjadi makanan janin. Dan yang ketiga adalah yang
bertambah yaitu darah nifas yang dikeluarkan oleh rahim setelah melahirkan. Ada
juga yang berpendapat bahwa dalam arti waktu yang berkurang dari masa kehamilan
normal atau berlebih dari masal normal kehamilan itupun sudah dalam pengetahuan
Allah SWT.[12]
Bagi Allah, segala sesuatu telah dibatasi kadar dan waktunya. Allah
mengetahui janin yang dikandung oleh rahim setiap wanita, dan mengetahui
berbagai fase yang terjadi. Sejak rahim itu masih kecil, ketika sperma mulai
menghilang menjelma dalam bentuk lain, kemudian membesar dari hari ke hari,
sampai akhirnya sperma itu menjadi janin yang siap dilahirkan.
Dalam penjelasan yang lain mengenai lafadz وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ yaitu tentang takaran-takaran yang telah
di ukur dari berbagai unsur-unsur campuran yang ada pada manusia baik ketika
dalam kandungan ataupun setelah dilahirkan. Seperti gizi, kalori, vitamin, dan
lain sebagainya. Selain itu menurut Qatadah sebagaimana dikutip oleh mengenai arti ukuran dalam penggalan ayat
tersebut, yaitu mengenai ketentuan ajal. Yakni dipelihara Allah rezeki
makhluk-Nya dan ajalnya, dan semuanya itu dengan ketentuan yang pasti.[13]
Ayat di atas menjelaskan bahwasannya Allah mengetahui segala sesuatu yang
terjadi pada rahim seorang perempuan dan juga menentukan
ketentuan-ketentuan-Nya yang sesuai. Dalam hal ini Allah melakukan upaya
pengamatan pada seluruh yang terjadi pada harim perempuan dan menentukan
semuanya sesuai yang telah direncanakan oleh Allah. Jadi seyogyanya seseorang
dalam melakukan pengewasan harus mengetahui seluruh pelaksanaan kegiatan
operasional guna menjamin bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Pengawasan dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang
salah dan membenarkan yang benar. Karena pengawasan sebagai proses pemantauan
yang terus menerus untuk menjamin terlaksananya perencanaan secara konsekwen baik yang bersifat materil
maupun spirituil dan suatu usaha agar suatu pekerjaan dapat
dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan dengan adanya
pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan hambatan yang telah
terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan tindakan
perbaikannya.
C.
Syarah Hadist Tentang Controlling
dalam Manajemen Pendidikan
1. Dari
Abu Barzah Al-Aslami, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أربع : عن عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ
عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا
أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ.
Artinya “Tidak akan bergeser kedua
kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sampai ditanya tentang empat perkara:
(1) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, (2) tentang ilmunya, sejauh mana
dia amalkan, (3) tentang hartanya, dari mana dia dapatkan dan untuk apa harta
tersebut dibelanjakan, dan (4) tentang tubuhnya, untuk apa dia gunakan."
(HR. At-Tirmidzi disohihkan Al-Albany dalam Ash-Shohihah, 946)
Hadist diatas menjelaskan
tentang tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sampai
ia ditanya tentang 4 perkara:
Pertama, ditanya tentang
umurnya, kesempatan dia hidup di dunia ini, untuk apa ia gunakan. Apakah dengan
usia atau kesempatan itu dia gunakan untuk berfoya-foya, ataukah dia tidak
merasa bahwasanya dia akan dikembalikan oleh Allah di hari kiamat nanti. Jangan sampai
kita menyesal seperti penyesalannya orang kafir ketika lalai akan datangnya
kematian, kemudian nyawanya dicabut dalam keadaan belum bertaubat kepada Allah,
maka apa yang terjadi kemudian.
Kedua, tentang ilmunya, sejauh
mana dia amalkan ilmunya. Kita menuntut ilmu ini tidak dibiarkan begitu saja
oleh Allah, akan tetapi kita dituntut untuk mengamalkannya. Karena hakekat tujuan
ilmu adalah pengamalannya. Allah akan meminta pertanggungjawaban tentang
pengamalan ilmu yang kita pahami. Maka hendaknya
kita bersungguh-sungguh untuk mencari ilmu, memahami dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Ketiga, tentang hartanya, dari mana ia
dapatkan harta tersebut dan untuk apa
harta tersebut dibelanjakan. Apakah harta tersebut dia peroleh dari jalan yang
halal, ataukah harta tersebut diperoleh dari hal-hal yang haram.
Keempat, tentang tubuhnya, untuk apa dia
gunakan di dunia ini. Apakah tubuh
tersebut dia gunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Dia lahir dalam keadaan tidak
memiliki apa-apa, kemudian Allah karuniakan kepadanya penglihatan dan
pendengaran. Dengan itu apakah dia bisa mengemban amanah dari Allah tersebut,
yaitu menjaga pendengarannya, penglihatan, dan hatinya dari hal-hal yang
dilarang oleh Allah. Allah mengingatkan bahwa dihari kiamat semua tubuh kita
menjadi saksi atas perbutan kita didunia.[14]
Penjelasan mengenai hadist diatas bahwasannya
semua yang ada pada diri manusia mulai dari umur, ilmu, tubuh, dan harta akan
dimintai pertanggungjawaban. Tentang bagaimana semua bidang tersebut digunakan
oleh manusia, apakah untuk kebaikan atau keburukan. Menanamkan jiwa pengawasan
terhadap diri sendiri sangatlah penting. Karena beperan penting dalam hubungan
seseorang dengan orang lain. Hal ini dikarenakan kita senantiasa hidup dalam
kelompok atau masyarakat dan tidak bisa hidup sendirian. Selain itu pengawasan
diri sendiri berperan dalam pencapaian tujuan pribadi. Hal ini dikarenakan
bahwa seseorang yang mampu mengatur dirinya sendiri dari perbuatan yang
merugikan diri sendiri atau orang lain akan lebih mudah fokus terhadap
tujuan-tujuan yang ingin dicapai, mampu memilih tindakan yang lebih bermanfaat,
dan menunjukkan kematangan emosi.
2.
Dari Abu
Ya’la Syidad bin Aus r.a, Rasulullah SAW bersabda :
عن ابي يعلى شداد
ابن اوس رضي الله عنه قال قال رسول الله ص م الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ
، وَعَمِلَ
لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ
هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ
(رواه الترميذي)
Artinya : “Orang yang cerdas itu
adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya, dan mengerjakan untuk kehidupan
setelah kematian. Dan yang lemah itu adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya
dan berandai-andai kepada Allah.” (HR. Turmudzi).[15]
Al-Kaisu, orang yang cerdas yang dimaksudkan
oleh Rasulullah Saw adalah orang yang mampu dengan bijak mengendalikan hawa
nafsunya untuk tunduk dan taat terhadap perintah Allah Swt
serta menjahui segala larangan-larangan-Nya.
Ungkapan senada dapat kita temukan juga dalam hadits Rasulullah Saw lain, yang
menyebutkan bahwa orang yang paling berani itu adalah orang yang mampu
menundukkan hawa nafsunya. Dan juga jihad yang lebih besar daripada peperangan
mengangkat senjata, adalah jihad melawan hawa nafsu.
Kata dana pada hadits tersebut
disyarah oleh para ulama dengan beberapa
pengertian, di antaranya al-khudu’ yang bermakna ketundukan atau
ketaatan. Adapun makna lain dari lafaz dana selain
al-khudu’, ialah muhasabah, yakni mengintropeksi diri. Jadi
orang-orang yang cerdas itu adalah orang yang senantiasa mengintropeksi
dirinya, dan melakukan perbaikan. Orang-orang seperti ini memiliki visi dan
misi jauh ke depan, tidak hanya menyiapkan bekal untuk dunia, tapi juga untuk
akhiratnya. Demikianlah Islam mengajarkan umatnya menjadi orang-orang yang
sukses dunia akhirat. Memotivasi untuk optimis dan berbuat lebih baik dan yang
terbaik, dengan menyandarkannya semua kepada Allah Swt.[16]
Orang yang cerdas adalah orang yang
mampu mengontrol atau mengawasi jiwanya sendiri sebelum mengawasi orang lain,
apalagi menilainya. Pengawasan
inilah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai kunci pertama dari
kesuksesan. Karena sekali lagi, orang yang sukses akan selalu memperhatikan
mengevaluasi dari kinerja pribadi yang telah dilakukannya. Orang yang pandai
yang mampu mengontrol nafsu sendiri senantiasa akan mengevaluasi terhadap
amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan
akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam
rangka peningkatan kepribadiannya sendiri.
Sementara banyak sekali pribadi-pribadi maupun institusi yang
mengevaluasi kinerja atau aktivitasnya lantaran orang lain, atau agar dinilai
‘baik’ oleh pihak lain. Jadi pengawasan yang dimulai dari diri sendiri itu
sangatlah penting. Dikarenakan apabila seseorang belum mampu mengendalikan
jiwanya sendiri, dikhawatirkan ketika diberikan kepercayaan untuk melakukan
control atau pengawasan terhadap seseorang, golongan, atau intitusi lain tidak
akan dapat mewujudkan suatu tujuan yang telah dirumuskan. Membiarkan hidupnya
tidak memiliki visi, tidak memiliki planning, tidak ada action dari
planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan hidupnya. Dan orang yang
seperti ini sudah akan terukur kegagalannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
pengawasan atau
ar-riqobah merupakan suatu yang
harus ada dan harus dilaksanakan. Kegiatan ini untuk meneliti
dan memerikasa apakah pelaksanaan tugas-tugas perencanaan betul-betul
dikerjakan atau tidak. Hal ini juga untuk mengetahui apakah ada penyimpangan,
penyalahgunaan dan kekurangan dalam
pelaksanaannya, jika ada maka perlu untuk direvisi.
Dengan demikian semua hal tersebut dapat
menjadi bukti dan perhatian serta sebagai bahan bagi pimpinan untuk memberikan
petunjuk yang tepat pada tahap
berikutnya.
Qs at-Tahriim
ayat 6 menjelaskan tentang adanya control atau pengawasan mulai dari sendiri dan
keluarga maupun anak untuk senantiasa taat dan melaksanakan perintah Allah supaya kelak
nantinya mereka terhindar dari api neraka. Dan dalam tafsiran ayat ini bisa diambil kesimpulan bahwa kepala rumah tangga sebagai
peminpin dalam keluarga wajib mengingatkan atau melakukan pengawasan kepada
istri, anak maupun saudara untuk senantiasa taat pada perintah Allah.
Qs at-Taubah menjelaskan tentang Allah sebagai
pengawas memberikan pemberdayaan kepada Rasulullah SAW melalui dengan pemberian
wewenang & memberikan kepercayaan untuk menyuruh
orang-orang selalu melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan untuk orang lain. Karena semua amal akan dilihat oleh
Allah, Rasul, serta para mukminin, dan akan diperlihatkan oleh Allah di hari
kiamat kelak, kemudian akan
mendapatkan balasan sesuai
dengan amal perbuatannya ketika
dimuka
bumi.
Qs ar-Ra’d ayat 8 menjelaskan tentang seyogyanya seseorang dalam melakukan
pengewasan harus mengetahui seluruh pelaksanaan kegiatan operasional guna menjamin bahwa kegiatan
tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Hadist la tazula qadama abdin menerangkan
tentang semua yang ada pada diri manusia mulai
dari umur, ilmu, tubuh, dan harta akan dimintai pertanggungjawaban. Tentang
bagaimana semua bidang tersebut digunakan oleh manusia, apakah untuk kebaikan
atau keburukan. Menanamkan jiwa pengawasan
terhadap diri sendiri sangatlah penting. Hadist al-Kayyisu
menerangkan tentang orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengontrol atau
mengawasi jiwanya sendiri sebelum mengawasi orang lain, apalagi menilainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin
Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002
Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi,TERAS,
Yogyakarta, 2008
Ahmad
Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Toha Putra, Semarang, 1993, Juz
II
Amin Widjaja Tunggal, Manajemen Suatu Pengantar, Renika Cipta, Jakarta,
1993
Didin Hafidudin
dan Hendri Tanjung,
Manajemen Syariah dalam Prkatik, Gema Insani, Jakarta, 2003
Hamka, Tafsir al-Azhar, Gema Insani,
Jakarta, 2015, Jilid V
Imam an-Nawawi, Riyad al-Shalihin, Toha Putra ,
Semarang, tth
Made Pidarta,
Manajemen Pendidikan
Indonesia, Bina Aksara, Jakarta:, 1998
Moh. Mas’ud, Manajemen
Personalia,Erlangga,
Jakarta, 1996
Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Lentera
Hati, Jakarta, 2006
Ramayulis,
Ilmu Pendidikan
Islam, Kalam Mulia ,Jakarta, 2008
[3] Didin Hafidudin
dan Hendri Tanjung,
Manajemen Syariah dalam Prkatik, Gema Insani, Jakarta, 2003, hlm.156
[6] Abuddin
Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm.198
[7]Ahmad
Munir, Tafsir Tarbawi,TERAS, Yogyakarta, 2008, hlm.116
[8] Abuddin
Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm.199-200
[9] Ahmad
Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Toha Putra, Semarang, 1993, Juz
II, hlm.35
[10] Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Lentera
Hati, Jakarta, 2006, hlm.172
[11] Hamka, Tafsir
al-Azhar, Gema Insani, Jakarta, 2015, Jilid V, hlm. 51
[12] Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Lentera
Hati, Jakarta, 2006, hlm.551
[13] Hamka, Tafsir
al-Azhar, Gema Insani, Jakarta, 2015, Jilid V, hlm. 51
[15] Imam an-Nawawi, Riyad
al-Shalihin, Toha Putra , Semarang, tth, hlm 49
[16]http://phanter-cabak.blogspot.co.id/2012/10/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html diakses pada tanggal 25 November 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar