Rabu, 21 November 2018

MAKALAH PROGAM RISET IMRE LAKATOS


PROGAM RISET IMRE LAKATOS




BAB 1
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Ilmu berawal dari keingintahuan manusia atas fenomena yang ada disekitarnya ataupun tentang dirinya sendiri. Pada awalnya hasrat ingin mengetahui itu terhambat oleh berbagai mitos yang berkembang di masyarakat. Mitos berhasil tertanam didalam pikiran manusia, karena keterbatasan pikiran manusia itu sendiri untuk memberikan dan memperoleh penjelasan yang masuk akal. Salah satu misi ilmiah adalah meruntuhkan berbagai mitos melalui penjelasan ilmiah yang dapat memuaskan kedahagaan keingintahuan.
Pembahasan mengenai filsafat ilmu tentu tidak lepas dari membahas sejarah awal mula ilmu dan pengetahuan, pengertian, proses, jenis-jenisnya, prosedur, paradigma, kerangka dasar teori keilmuan, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang kita tau, bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai ilmu jika telah melalui proses penelitian, pembuktian dan lain-lain
Akhirnya, muncullah beberapa pemikir yang mencoba mendobrak dominasi ini dengan memunculkan filsafat baru. Diantara mereka salah satunya adalah Imre Lakatos. Imre Lakatos mengambil jalan tengah atas pemikiran Khun dan Popper. Lakatos ingin mengembangkan dan mengkritik atas kekurangan dari pemikiran Popper dan menghasilkan metode baru yang selanjutnya disebut Program Riset. Imre Lakatos lebih tertarik dengan menengahi antara perubahan paradigma Kuhn dan falsifikasi Popper. Pemikiran Lakatos berkaitan dengan struktur teori. Pemikiran ini berpendapat bahwa dalam sebuah teori terdapat sebuah inti teori yang tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang pemikiran imre lakatos tentang program riset



B.       Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah biografi Imre Lakatos ?
2.      Bagaimanakah latar belakang pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset ?
3.      Bagaimanakah konsep metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset ?
4.      Bagaimanakah manfaat metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset dalam perspektif kajian Islam ?

C.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui biografi Imre Lakatos
2.      Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset
3.      Untuk mengetahui konsep metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset
4.      Untuk mengetahui manfaat metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset dalam perspektif kajian Islam












BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi Imre Lakatos
Lakatos, yang nama aslinya Imre Lipschitz, lahir di Hungaria 9 Nopember 1922 dari keluarga Yahudi. Ia menyelesaikan pendidikan awal di daerahnya, meskipun kala itu Hungaria berada dalam masa-masa sulit, terutama ketika menghadapi caru marutnya perang dunia. Ia mendapat ijazah dalam bidang matematika, fisika, dan filsafat pada tahun 1944 dari University of Debrecen. Pada tahun yang sama Hitler menawarkan kepada Hungaria, apakah negara ini akan berpihak kepadanya atau angkatan perang Jerman menduduki negeri itu. Tahun 1947 dia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Pendidikan, namun tidak lama setelah akibat perbedaan dan kekacauan politik, ia dijebloskan ke penjara. Setelah keluar, ia mulai aktif di bidang akademik dengan menerjemahkan buku matematika ke bahasa Hungaria. Masalah-masalah ini dikaji dalam buku-bukunya Karl R. Popper.[1]
Karena pada tahun 1956 terjadi revolusi, Imre Lakatos lari ke Wina yang akhirnya sampai ke London. Di London inilah kemudian Imre Lakatos melanjutkan studi di Cambridge University dan memperoleh gelar doktor setelah mempertahankan desertasinya: Proofs and Refutations: The Logic Of Matematical Discovery (karya yang membahas pendekatan terhadap beberapa metodologi matematika sebagai logika penelitian).[2]
Tahun 1963 ia menulis Proofs and Refutations menjadi empat bagian dalam British Journal for Philosophy of Science. Lakatos banyak menulis tentang filsafat matematika sebelum ia bergeser untuk menulis dalam bidang filsafat sains. Dalam karya tersebut tampak jelas kontribusi Lakatos terhadap filsafat matematika, yang mana ia membuatnya menjadi sederhana dan memastikan bahwa pokok materi (subyek) matematika tidak pernah akan sama lagi. Lakatos membuat kita berpikir sekitar apa yang kebanyakan para ahli matematika lakukan. Ia menulis suatu dialog filosofis yang mengagumkan tentang tanda bukti yang mendasar sebagaimana muncul dalam ilmu geometri yang dipelopori oleh Euler. Ini merupakan suatu seni karyaintelektual yang sangat baik. Karyanya ini disebut-sebut mirip seperti dialog yang pernah dibuat oleh Hume, Berkeley, atau Plato.[3]
Setelah diangkat menjadi pengajar pada london school of economic, dia sering terlibat diskusi dengan Popper, Feyerabend, dan Kuhn untuk membantu memantapkan gagasannya tentang Metodology of Scientific Research Programmes, sehingga pada tahun 1965, Lakatos mengadakan suatu simposium yang mempertemukan gagasan Kuhn dan Popper. Pada tahun 1968 Lakatos menerbitkan karyanya yang berjudul:Criticism and the methodology of scientific programmes, sebagai evaluasi atas prinsip falsifikasi dan upaya perbaikan atas kelemahan dan kekurangannya. Lakatos meninggal pada 2 Februari 1974 di London sebelum menyelesaikan karyanya yang berjudul: “The Changing Logic Of Scientific Discovery” sebagai pembaruan dari karya Popper yag berjudul: “The Logic Of Scientific Discovery”.[4] Lakatos meninggal pada 2 Pebruari 1974 di London sebelum ia sempat menyelesaikan karyanya, The Changing Logic of Scientific Discovery.[5]

B. Latar Belakang Pemikiran Imre Lakatos Tentang Progam Riset
Pada masa sebelum Lakatos, ilmu pengetahuan merupakan akumulasi teori yang berdiri sendiri. Pemikiran yang memandang ilmu pengetahuan hanyalah akumulasi teori yang berdiri sendiri mendapat bantahan dari teori relativisme Thomas S. Kuhn dan pemikiran Imre Lakatos. Menurut Kuhn, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kukuh dalam sebuah paradigma. Paradigma menetapkan kriteria untuk memilih masalah yang dapat diasumsikan mempunyai solusi. Dengan demikian, paradigma menjadi sumber keterpaduan bagi tradisi penelitian yang normal.[6] Sedangkan menurut Lakatos, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kukuh dalam sebuah program riset.
Berbeda dengan Kuhn, yang memberikan kemungkinan terjadinya revolusi sebagai sesuatu yang luar biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan, Imre Lakatos menepiskan sama sekali terjadinya revolusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Lakatos, perkembangan ilmu pengetahuan dapat terjadi melalui kontinuitas. Bukan teori tunggal yang harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah, melainkan rangkaian teori-teori. Rangkaian teori-teori itu, antara satu sama lain dihubungkan oleh suatu kontinuitas yang menyatukan teori-teori tersebut menjadi program-program riset (Research Programme). Kontinuitas tersebut memainkan peranan penting dalam sejarah ilmu. Menurut lakatos, masalah-masalah pokok yang berhubungan dengan logika penemuan tidak bisa dibahas secara memuaskan kecuali dalam kerangka metodologi program-program riset.[7]
Keberbedaan Imre Lakatos dengan Popper dan Kuhn bukan berarti ia tidak mau mengapresiasi sama sekali terhadap dua pemikiran ini. Menurut pemikiran Popper, metode falsifikasi dapat digambarkan sederhana saja semisal melalui observasi terhadap angsa-angsa putih, betapapun besar jumlahnya, orang tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali observasi terhadap seekor angksa hitam untuk menyangkal pendapat tadi. Jadi, dengan pembuktian seperti itulah sebuah hukum ilmiah berlaku: bahwa bukan apakah suatu hukum ilmiah dapat dibenarkan melainkan dapat dibuktikan salah. Berdasarkan beberapa argumen tersebut, maka tak heran apabila beberapa ilmuwan dan penulis justru mengategorikan Lakatos sebagai Popperian dalam upayanya memperbaiki teori-teori pemikiran Popper dengan mengambil hasil-hasil pemikiran Kuhn. Bahkan ada yang mengatakan bahwa model Lakatos merupakan pengembangan pemikiran Kuhn tentang paradigma dan perluasan dari teori falsifikasi Popper. Dalam hal pengembangan dari pemikiran Kuhn adalah bahwa Lakatos memperhitungkan dan menekankan sejarah pentingnya penyusunan beberapa penelitian alternatif pada waktu yang sama dan masalah yang sama.[8] Sedangkan upaya perluasan Lakatos terhadap pemikiran falsifikasi Popper tampak ketika dia menyatakan bahwa tugas utama tidak dijadikan teori sendiri-sendiri, namun menjadi program, yang masing-masing meliputi teori-teori berganda. Teori berganda meliputi inti (core) yang tersusun dari pendapat atau prinsip dasar, dan ikat pinggang (belt) yang terdiri dari pendapat atau prinsip jadian atau hipotesis pembantu.

C. Konsep Metodologi Program Riset Imre Lakatos
Metodologi program riset merupakan sebuah hasil dari gagasan Lakatos yang berusaha mempertemukan ide dari Popper dan juga Kuhn. Metodologi program riset menawarkan sebuah arah baru bagi pengembangan riset di masa depan dalam bentuk struktur metodologis. Hal ini dilakukan demi kemajuan ilmu dan perbaikannya sekaligus menjawab tantangan falsifikasionisme Popperian.[9] Dalam Program Riset ini terdapat aturan-aturan metodologi yang disebut “Heuristik”. Heuristik menurut kamus filsafat adalah proses, mirip coba-coba (trial and error), untuk menyelesaikan masalah yang menyatakan tidak ada algoritma yang eksis. Heuristik bagi suatu masalah adalah aturan atau metode untuk mendekati sebuah solusi.[10]
Heuristik, dalam metodologi program riset yang dikembangkan oleh Imre Lakatos, adalah struktur utama yang sangat penting, yang mengarahkan jalannya suatu riset dilaksanakan. Standar sesuatu dianggap ilmiah adalah rangkaian teori-teori dan bukan teori tunggal yang berdiri sendiri. Rangkaian teori-teori itu dihubungkan dengan suatu kontinuitas yang menyatakan teori-teori tersebut dalam suatu program riset. Kontinuitas tersebut memainkan peranan pentingdalam sejarah ilmu. Kontinuitas ini dikembangkan dari suatu program riset yang dapat dibayangkan sejak awal.[11] Heuristik sendiri terbagi menjadi 2 bagian yaitu heuristik negatif dan heuristik positif.[12]
Heuristik Negatif adalah program terperinci yang menetapkan asumsi-asumsi dasar yang melandasi program itu. Inti pokok (Hard core) dan inti jangan sampai ditolak atau dimodifikasi atau dilindungi dari ancaman falsifikasi oleh suatu lingkaran pelindung (Protective-belt) berupa hipotesa-hipotesa pendukung induksi awal.
Heuristik Positif adalah berupa bimbingab garis besar yang menujukan bagaimana program riset itu dapat dikembangkan. Perkembangan-perkembangan inti memerlukan perlengkapan bagi inti pokok tadi dari asumsi-asumsi tambahan untuk menerangkan fenomena-fenomena yang sudah dikenal lebih dahulu dan meramalkan fenomena baru. Dengan itu program riset bisa progresif atau degeneratif tergantung pada apakah mereka berhasil atau gagal menempuh ke pemahaman fenomena baru.
Menurut Lakatos, ilmu pengetahuan bukanlah tentang benar (verifikasi) dan salah (falsifikasi). Ilmu pengetahuan bukanlah sekedar trial and error, yaitu mengumpulkaan dugaan kemudian melakukan penolakan. Ilmu pengetahuan adalah tentang wawasan yang lebih mendalam dalam sebuah pemecahan masalah. Dalam bahasa Lakatos, ilmu pengetahuan merupakan sebuah program riset yang dibuat dan bersifat lebih baik (progresif).[13]
Lakatos menjelaskan bahwa dalam falsifikasi dan perubahan paradigma akan selalu terdapat kelemahan jika kedua-duanya berjalan sendiri-sendiri dalam mengambil sebuah kesimpulan dari pengetahuan. Dua hal ini butuh integrasi dalam sebuah program riset yang progresif. Falsifikasi mengajak para ilmuwan meninggalkan teori yang tidak bisa difalsifikasi lagi, mengganti dengan teori yang baru (pengembangan hipotesa baru). Perubahan paradigma menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan terdiri dari periode-periode ilmu pengetahuan normal, yang akan bertemu dengan anomali-anomali hingga terjadi perubahan.[14]
Dari perbandingan diatas, Lakatos menyimpulkan sebuah metodologi untuk menyeimbangkan kedua pandangan tersebut. Dalam hal ini ada tiga pokok yang harus ada dalam metodologi program riset ini:
1.    Hard core (inti pokok)
Dalam sebuah penelitian, hardcore inilah yang berfungsi sebagai asumsi dasar yang menjadi ciri dari program riset ilmiah yang melandasinya, yang tidak dapat ditolak atau dimodifikasi. Inti pokok ini dilindungi dari ancaman falsifikasi. Dalam aturan metodologis inti pokok disebut sebagai “heuristik negatif” maksudnya inti pokok yang menjadi dasar diatas elemen yang lain karena sifatnya menentukan dari suatu program riset dan menjadi hipotesis teoritis yang bersifat umum dan sebagai dasar bagi pengembangan program pengembangan.[15]
2.    Protective Belt (lingkaran pelindung)
Protective belt terdiri dari hipotesa-hipotesa bantu (auxiliary hypotheses) dalam kondisi-kondisi awal. Dalam mengartikulasi hipotesa pendukung, lingkaran pelindung ini harus menahan berbagai serangan, pengujian dan memperoleh penyesuaian, bahkan perubahan dan pergantian, demi mempertahankan hard core. Dalam aturan metodologis program riset, protective belt ini disebut “heuristik positif”. Heuristik ini dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana “inti pokok” program riset dilengkapi agar dapat menerangkan dan meramalkan fenomena-fenomena yang nyata.[16] Di dalam protective belt itulah dijumpai anomali-anomali yang tidak akan pernah selesai. Heuristik positif ini sangat bermanfaat dalam menyelamatkan sang ilmuwan dari kesulitan dan kebingungan yang disebabkan anomali-anomali. Dengan demikian, ia lebih fleksible dari pada heuristik negatif karena senantiasa tumbuh dan berkembang mengikuti perjalanan waktu.[17]
3.    A Series Theory (serangkaian teori)
Penjelasan dari serangkaian teori yaitu keterkaitan teori dimana teori yang berikutnya merupakan akibat dari klausul bantu yang ditambahkan dari teori sebelumnya. Hal yang perlu dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah teori tunggal, melainkan rangkaian beberapa teori.[18] Keterkaitan teori dimana teori yang berikutnya merupakan akibat dari klausal bantu yang ditambah dari teori sebelumnya. Menurut Imre Lakotos, yang harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah teori tunggal, melainkan rangkaian teori baru. Kontinuitas ini berangkat dari program riset murni. Keilmiahan suatu program riset dinilai berdasarkan dua syarat;[19]
a.       Harus memenuhi derajat koherensi yang mengandung perencanaan yang pasti untuk program riset selanjutnya.
b.      Harus dapat menghasilkan penemuan fenomena baru
Jadi, pada dasarnya sejarah ilmu telah ada dan seharusnya merupakan sejarah bagi banyak program riset yang saling bersaing. Oleh karena itu, hal yang diperlukan keberadaannya dalam kegiatan pengembangan ilmu adalah heuristic power (kekuatan pengembangannya) dan continuity (keberlanjutannya)[20]. Lakatos berpendapat bahwa mempertahankan hard core adalah misi utama dari pola program riset ilmiah, hanya pada tatanan protective belt sajalah yang bisa difalsifikasi. Menurut Lakatos, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara kontinyu. Ia menolak terjadinya revolusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Jadi dari sini bisa diambil kesimpulan letak perbedaan antara Popper, Kuhn dan Lakatos.
Dalam sebuah kasus yang pernah terjadi, beberapa fisikawan menggunakan hukum gravitasi Newton dan mekanika sebagai hard core. Ditemukan sebuah planet kecil yang menyimpang dari kalkulasi hukum Newton. Apakah penyimpangan ini bentuk dari gugurnya teori Newton? Ternyata bukan, justru para fisikawan melihat ada sesuatu yang tidak tepat (kalkulasi, teropong, atau tertutup debu kosmik) sehingga planet tersebut tidak sesuai dengan hard core. Apakah dengan kegagalan-kegagalan itu teori Newton terbantah? Tidak, bahkan akan diajukan lagi hipotesa-hipotesa pendukung baru yang lebih cerdas dan canggih. selama program riset masih dikembangkan maka hard core harus selalu dilindungi dari serangkaian penolakan. Ancaman-ancaman itu dialihkan pada hipotesa bantu yang membentuk protective belt. Seorang ilmuan yang mengubah hard core berarti telah memilih keluar dari program riset.
Jadi secara umum dapat dinyatakan, manfaat program riset ditentukan oleh seberapa jauh para ilmuwan dapat mengembangkan temuan-temuannya atau malah tidak menghasilkan apa-apa. Akan tetapi, suatu program yang mengalami degenerasi akan membuka jalan bagi rivalnyayang lebih maju, sama seperti astronomi Ptolemy yang akhirnya membuka jalan bagi teori Copernicus.
Teori Popper yang menganggap bahwa “Semua angsa putih bisa difalsifikasikan dengan penemuan satu angsa hitam” tidak berarti kita meninggalkan penelitian terhadap “angsa putih”. teori yang ditolak (difalsifikasi) bukan berarti harus dibuang dan tidak berguna, selanjutnya diganti dengan teori baru yang terputus dengan teori lama (ide dasar). Akan tetapi teori baru menurutnya harus tetap berpegang pada substansi teori yang menjadikan intelektual sejarah, walaupun mengalami proses penyempurnaan.[21]
Teori merupakan rangkaian yang bersifat koheren, dan bukan seperti pendapat dari Kuhn (Revolusi saintifik), yang besifat terpisah dan terperiodesasi.[22]Kuhn menyimpulkan bahwa sains merupakan social process, relatif dan tergantung pada faktor sosial yang berupa masyarakat ilmuwan.[23] Sehingga bersifat mistik dan tidak bisa dijangkau oleh akal, Karena berdasarkan Psychology of discovery.[24] Metodologi program riset inilah yang menyempurnakan dua hal tersebut. Konsep The Development of Science yang digagas oleh Lakatos dibangun atas dasar metodologi program riset ilmiah. Baginya, perkembangan ilmu dapat terjadi melalui kontinuitas.

E. Manfaat Metodologi Program Riset dalam Perspektif Kajian Islam
Al-Quran dan as-Sunnah merupakan sumber utama agama Islam. Dari al-Quran dan as-Sunnah tersebut umat Islam menggali dan mengembangkan tata nilai dan tata aturan dalam membangun peradaban. Dalam sepanjang sejarah Islam, dari sumber utama tersebut telah lahir khazanah keilmuan Islam yang sangat kaya. Di antaranya adalah Fiqh-Ushul Fiqh, Ulumul Quran-Tafsir, Ulumul Hadis-Hadis, Ilmu Kalam, Tasawwuf dan Falsafah Islam.dan lain-lain
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman tersebut, dengan memanfaatkan program riset ilmiah ala Lakatos, dapat dijelaskan dengan baik. Di samping itu dapat pula dibedakan mana yang merupakan hard core dan mana yang masuk kategori protective belt. Dengan pembedaan ini, dapat dibedakan pula mana yang absolut dan harus dilindungi dari perubahan dan mana yang dapat dikembangkan dan disempurnakan.
Konsep hard core dan protective belt dalam scientific research progammes Lakatos dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan studi Islam. Studi Islam, dalam kerangkan scientific research progammes meletakkan al- Quran dan as-Sunnah sebagai hard core. Sedangkan Fiqh-Ushul Fiqh, Ulumul Quran-Tafsir, Ulumul Hadis-Hadis, Ilmu Kalam, Tasawwuf dan Falsafah Islam diletakkan dalam protective belt.
Al-Quran dan as-Sunnah, sebagai hard core, bersifat absolut, șabit dan tidak berubah karena merupakan inti pokok. Semua anomali yang dialamatkan kepada Islam tidak diarahkan kepada hard core, tetapi diarahkan kepada protektive belt. Protective belt berfungsi sebagai pelindung terhadap hard core. Dengan demikian ilmu-ilmu bantu dalam studi keislaman seperti Ushul Fiqh, Ulumul Quran, Ulumul Hadis, Ilmu Kalam, Tasawwuf dan Falsafah Islam harus selalu dikembangkan, direvisi dan disempurnakan agar efektif dan mampu melindungi hard core (al-Quran dan as-Sunnah).
Dalam kerangka program riset, pengembangan studi-studi keislaman adalah mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang lahir dari petunjuk al-Quran dan as-Sunnan sebagai upaya menjawab lautan anomali yang diarahkan kepada Islam, bukan mengembangkan al-Quran dan as-Sunnah. Ushul Fiqh, Ulumul Quran, Ulumul Hadis, Ilmu Kalam, Tasawwuf dan Falsafah merupakan konstruksi keilmuan yang bertugas melindungi al-Qur’an dari perubahan. Sehingga ilmu-ilmu tersebut dapat dikembangkan secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman.
Para pemikir modern semisal Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Muhammad Syahrour, Nasr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi, Abdullah Ahmed an-Na`im dan lain-lain pada dasarnya berikhtiar untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang masuk kategori protective belt untuk melindungi al-Quran dari pandangan negatif dalam menghadapi isu-isu kontemporer. Pengembangan Ushul Fiqh, Ulumul Quran, Ilmu kalam dan lain-lain merupakan ikhtiar progresif dalam rangka meletakkan al-Quran (hard core) sebagai kitab suci yang șalihun li kulli zaman wa makan. Tanpa pengembangan terhadap ilmu-ilmu tersebut, maka dikhawatirkan ilmu-ilmu tersebut tidak mampu melindungi hard core dan anomali mengarah kepada hard core. Jika itu yang terjadi, maka al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai inti pokok Islam tidak dapat diselamatkan dari lautan anomali.
Sebagai contoh, penulis kemukakan pemikiran an-Na`im dalam upayanya untuk menepis bahwa Islam telah melakukan perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan dan non-muslim. Contoh ini sebagai gambaran bahwa ketika Islam ditantang untuk menghadapi problematika masa kini, maka al-Quran sebagai hard core harus dilindungi dari serangan-serangan tersebut dengan cara memperbaiki dan merevisi ilmu-ilmu yang merupakan pisau bedah kajian keislaman. Jika seseorang akan mengupas mangga dan tidak mungkin melakukan itu karena pisaunya tumpul dan berkarat, maka bukan mangganya lalu dibuang. Tetapi solusinya adalah mengasah pisau tersebut atau mengganti dengan pisau yang baru.
Ada tuduhan bahwa Islam melakukan perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan. Meskipun perempuan muslimah berhak memegang pendapat asal sesuai dengan ajaran dasar Islam, tetapi ada pembatasan syari`ah atas hak mereka untuk tampil dan berbicara di depan umum dan bergabung dengan laki- laki untuk mendukung pendapatnya.[25] Di samping pembatasan tadi, perempuan muslimah juga dibatasi syari`ah untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik. Prinsip umum syari`ah itu didasarkan pada surat an-Nisaayat 34 yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pelindung (qawwām) bagi perempuan.
Perlakuan diskriminatif juga diberlakukan terhadap warga non-muslim dengan status ahl az-zimmah dengan kewajiban membayar pajak (jizyah). Mereka tidak mempunyai hak-hak sipil dan politik meskipun mereka dilahirkan dan dibesarkan di wilayah Negara Islam. Mereka memang diberi wewenang untuk berpendapat dan berserikat dalam komunitas mereka sendiri dan kebebasan tentang praktek-praktek keagamaan dan urusan-urusan pribadi mereka, tetapi untuk menentukan urusan publik tetap masih menjadi otoritas ekslusif umat Islam. Perlakuan yang diterapkan syari`ah terhadap perempuan dan zimmi tersebut jelas tidak sesuai dengan prinsip persamaan di depan hukum. Hukum pidana syari`ah juga membedakan warga Negara berdasarkan gender dan agama. Hal ini tampak pada kasus diyat (kompensasi uang bagi keluarga korban pembunuhan). Dalam pembyaran diyat, korban perempuan dan zimmi tidak sebanyak untuk korban yang laki-laki. Kesaksian perempuan tidak diterima dalam kasus hudud dan qișaș. Kesaksian perempuan hanya diterima dalam kasus-kasus perdata, itu pun dengan perbandingan dua perempuan sebanding dengan satu laki-laki. Hal ini tampak pada kasus-kasus perdata seperti perkawinan, waris dan lain-lain.[26]
Menurut an-Na`im, diskriminasi tersebut muncul karena semua prinsip- prinsipnya didasarkan pada teks-teks al-Qur’an dan as-Sunnah pada periode Madinah. Dengan metode “evolusi basis hukum Islam” (naskh ala an-Na`im), maka dapat diajukan solusi alternatif dengan menekankan penggunaan teks-teks periode Makkah. Untuk memperkuat argumentasinya, an-Na`im mengajukan contoh interpretasi terhadap surat an-Nisa ayat 34 untuk mensejajarkan posisi laki-laki dan perempuan. Kata qawwama pada ayat tersebut yang mengisyaratkan adanya otoritas laki-laki atas perempuan adalah bersifat kondisional berdasarkan variabel ekonomi dan keamanan perempuan yang dijamin laki-laki. Dalam konstitusi yang egaliter yang meletakkan keamanan baik laki-laki maupun perempuan pada aturan hukum disertai kemandirian perempuan dalam masalah ekonomi, maka alasan qawwama tidak berlaku lagi (dibatalkan penetapannya). Apabila analisis ini bisa diterima bersamaan dengan prinsip umum persamaan laki-laki dan perempuan yang diisyaratkan oleh teks-teks periode makkah, maka dapat disimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan harus sama di depan hukum.
Konstruksi pemikiran seperti dikemukakan an-Naim ini, terlepas dari adanya kritik tajam terhadap gagasan tersebut, dalam perspektif aplikasi program riset ilmiah ala Imre Lakatos merupakan upaya kreatif untuk mendungi al-Quran (hard core) dari serangan. Cara yang diajukan oleh an-Na`im adalah dengan mengasah pisau bedah analisis kajian al-Qur’an yaitu merevisi konsep naskh (protective belt) untuk menghindarkan al-Quran dari anomali (upaya problemshift). Dengan cara ini, al-Qur’an sebagai inti utama Islam akan tetap kokoh, tegak dan suci. Ia terhindar dari segala macam anomali. Revisi dan penyempurnaan hanya terjadi pada wilayah protective belt (ilmu-ilmu keislaman). Ilmu-ilmu keislaman dengan berbagai macam pisau bedah analisis yang digunakan dapat terus berkembang secara kontinyu demi menjaga dan melindungi al-Quran dari berbagai macam tantangan dan anomali.
Inilah urgensi program riset ilmiah Lakatos dalam studi keislaman. Mempertahankan hard core adalah misi utama dari pola program riset ilmiah. Ini serasi dengan tujuan Islam yang meletakkan al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman yang abadi. Di sinilah titik perbedaan antara Lakatos dan Popper. Bagi Popper, falsifikasi diarahkan menyentuh hard core, sedangkan Lakatos menyatakan bahwa falsifikasi hanya boleh terjadi pada hipotesa bantu (protective belt).













BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Lakatos, yang nama aslinya Imre Lipschitz, lahir di Hungaria 9 Nopember 1922 dari keluarga Yahudi. Ia menyelesaikan pendidikan awal di daerahnya, meskipun kala itu Hungaria berada dalam masa-masa sulit, terutama ketika menghadapi caru marutnya perang dunia. Ia mendapat ijazah dalam bidang matematika, fisika, dan filsafat pada tahun 1944 dari University of Debrecen. Pada tahun 1968 Lakatos menerbitkan karyanya yang berjudul:Criticism and the methodology of scientific programmes, sebagai evaluasi atas prinsip falsifikasi dan upaya perbaikan atas kelemahan dan kekurangannya. Lakatos meninggal pada 2 Februari 1974 di London
Latar Belakang Pemikiran Imre Lakatos Tentang Progam Riset dipengaruhi oleh tokoh Kuhn dan Popper. Keberbedaan Imre Lakatos dengan Popper dan Kuhn bukan berarti ia tidak mau mengapresiasi sama sekali terhadap dua pemikiran ini.
Metodologi program riset merupakan sebuah hasil dari gagasan Lakatos yang berusaha mempertemukan ide dari Popper dan juga Kuhn. Metodologi program riset menawarkan sebuah arah baru bagi pengembangan riset di masa depan dalam bentuk struktur metodologis. Hal ini dilakukan demi kemajuan ilmu dan perbaikannya sekaligus menjawab tantangan falsifikasionisme Popperian
Konsep hard core dan protective belt dalam scientific research progammes Lakatos dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan studi Islam. Studi Islam, dalam kerangkan scientific research progammes meletakkan al- Quran dan as-Sunnah sebagai hard core. Sedangkan Fiqh-Ushul Fiqh, Ulumul Quran-Tafsir, Ulumul Hadis-Hadis, Ilmu Kalam, Tasawwuf dan Falsafah Islam diletakkan dalam protective belt


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ahmed an-Na`im, Dekonstruksi Syari`ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, Lkis, Yogyakarta, 1997
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, Pusaka Setia, Bandung, 2010
C. Veerhak S. J. dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Gramedia, Jakarta, 1989
http://wwwhistory.mcs.st-andrews.ac.uk/Biographies/ Lakatos.html Ahmad Amir       Aziz 44 ISLAMICA, Vol. 1, No. 1, September 2006
Mohammad Tamtowi,Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos Bagi Pengembangan Studi Islam , Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011
Muhammad Muslih, Filsafat IlmuKajian Dan Asumsi Dasar Paragigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yoyakarta, 2004
Poespowardojo, T.M. Soerjanto dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Kompas, Jakarta, 2015
Simon Blackburn, Kamus Filsafat, Pustaka Pelajar , Yogyakarta, 2013
Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu, Interkoneksi-Interkoneksi, Yogyakarta, 2016
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta, 2016
Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains, Ar-Ruzz Media, Yogjakarta, 2000


[1] http://wwwhistory.mcs.st-andrews.ac.uk/Biographies/ Lakatos.html Ahmad Amir Aziz 44 ISLAMICA, Vol. 1, No. 1, September 2006
[2] Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu, Interkoneksi-Interkoneksi, Yogyakarta, 2016, hlm.519
[4] Muhammad Muslih, Filsafat IlmuKajian Dan Asumsi Dasar Paragigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yoyakarta, 2004, hlm. 120.
[5] Ibid, hlm. 69-70.
[6] Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, Pusaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 163
[7] C. Veerhak S. J. dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Gramedia, Jakarta, 1989, hlm.168
[8] Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains, Ar-Ruzz Media, Yogjakarta, 200, hlm.183-185
[9] Muhammad Muslih, Filsafat IlmuKajian Dan Asumsi Dasar Paragigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yoyakarta, 2004, hlm.70.
[10] Simon Blackburn, Kamus Filsafat, Pustaka Pelajar , Yogyakarta, 2013, hlm. 400
[11] http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52. Diakses pada tanggal 20 Mei 2018, jam 20.00 WIB
[12] Ibid, Diakses pada tanggal 20 Mei 2018, jam 20.00 WIB
[13]Poespowardojo, T.M. Soerjanto dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Kompas, Jakarta, 2015, hlm. 111-115.
[14]Ibid, hlm. 113-114.
[15] Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu, Interkoneksi-Interkoneksi, Yogyakarta, 2016, hlm.521
[16] Muhammad Muslih, Filsafat IlmuKajian Dan Asumsi Dasar Paragigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yoyakarta, 2004, hlm. 70-71.
[17] http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52. Diakses pada tanggal 20 Mei 2018, jam 20.00 WIB
[18] Muhammad Muslih, Op.Cit, hlm. 71.
[19] Ibid, hlm.122
[20] http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52. Diakses pada tanggal 20 Mei 2018, jam 20.00 WIB
[22] Poespowardojo, T.M. Soerjanto dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Kompas, Jakarta, 2015, hlm.116.
[23] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta, 2016, hlm. 164.
[24]Mohammad Tamtowi,Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos Bagi Pengembangan Studi Islam , Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011. hlm. 38-39.
[25] Abdullah Ahmed an-Na`im, Dekonstruksi Syari`ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, Lkis, Yogyakarta, 1997, hlm.103
[26] Ibid, hlm.173-175

Tidak ada komentar:

Posting Komentar