PROGAM RISET IMRE LAKATOS
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Ilmu berawal dari keingintahuan manusia atas fenomena yang ada
disekitarnya ataupun tentang dirinya sendiri. Pada awalnya hasrat ingin
mengetahui itu terhambat oleh berbagai mitos yang berkembang di masyarakat.
Mitos berhasil tertanam didalam pikiran manusia, karena keterbatasan pikiran
manusia itu sendiri untuk memberikan dan memperoleh penjelasan yang masuk akal.
Salah satu misi ilmiah adalah meruntuhkan berbagai mitos melalui penjelasan
ilmiah yang dapat memuaskan kedahagaan keingintahuan.
Pembahasan mengenai filsafat ilmu tentu tidak
lepas dari membahas sejarah awal mula ilmu dan pengetahuan, pengertian, proses, jenis-jenisnya, prosedur,
paradigma, kerangka dasar teori keilmuan, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang
kita tau, bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai ilmu jika telah melalui proses
penelitian, pembuktian dan lain-lain
Akhirnya, muncullah beberapa pemikir yang mencoba mendobrak dominasi ini dengan memunculkan filsafat baru. Diantara mereka salah satunya adalah Imre Lakatos. Imre
Lakatos mengambil jalan tengah atas pemikiran Khun dan Popper. Lakatos ingin
mengembangkan dan mengkritik atas kekurangan dari pemikiran Popper dan
menghasilkan metode baru yang selanjutnya disebut Program Riset. Imre Lakatos lebih tertarik dengan menengahi antara perubahan paradigma
Kuhn dan falsifikasi Popper. Pemikiran Lakatos berkaitan dengan struktur teori.
Pemikiran ini berpendapat bahwa dalam sebuah teori terdapat sebuah inti teori
yang tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Oleh karena itu,
makalah ini akan membahas tentang pemikiran imre lakatos tentang program riset
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan masalahnya
sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah biografi Imre Lakatos ?
2.
Bagaimanakah latar belakang pemikiran Imre Lakatos
tentang progam riset ?
3.
Bagaimanakah konsep metodologi pemikiran Imre Lakatos
tentang progam riset ?
4.
Bagaimanakah manfaat
metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang
progam riset dalam perspektif kajian
Islam ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui biografi Imre Lakatos
2.
Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Imre Lakatos
tentang progam riset
3.
Untuk mengetahui konsep metodologi pemikiran Imre Lakatos
tentang progam riset
4.
Untuk mengetahui manfaat metodologi pemikiran Imre Lakatos tentang progam riset dalam perspektif kajian
Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Imre Lakatos
Lakatos, yang nama aslinya Imre Lipschitz, lahir di Hungaria
9 Nopember 1922 dari keluarga Yahudi. Ia menyelesaikan pendidikan awal di
daerahnya, meskipun kala itu Hungaria berada dalam masa-masa sulit, terutama
ketika menghadapi caru marutnya perang dunia. Ia mendapat ijazah dalam bidang
matematika, fisika, dan filsafat pada tahun 1944 dari University of Debrecen.
Pada tahun yang sama Hitler menawarkan kepada Hungaria, apakah negara ini akan
berpihak kepadanya atau angkatan perang Jerman menduduki negeri itu. Tahun 1947
dia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Pendidikan, namun tidak lama
setelah akibat perbedaan dan kekacauan politik, ia dijebloskan ke penjara.
Setelah keluar, ia mulai aktif di bidang akademik dengan menerjemahkan buku
matematika ke bahasa Hungaria. Masalah-masalah ini dikaji dalam buku-bukunya
Karl R. Popper.[1]
Karena pada tahun 1956 terjadi revolusi, Imre Lakatos lari ke Wina yang
akhirnya sampai ke London. Di London inilah kemudian Imre Lakatos melanjutkan
studi di Cambridge University dan memperoleh gelar doktor setelah
mempertahankan desertasinya: Proofs and Refutations: The Logic Of
Matematical Discovery (karya yang membahas pendekatan terhadap
beberapa metodologi matematika sebagai logika penelitian).[2]
Tahun 1963 ia menulis Proofs and Refutations menjadi empat
bagian dalam British Journal for Philosophy of Science. Lakatos banyak
menulis tentang filsafat matematika sebelum ia bergeser untuk menulis
dalam bidang filsafat sains. Dalam karya tersebut tampak jelas kontribusi
Lakatos terhadap filsafat matematika, yang mana ia membuatnya menjadi
sederhana dan memastikan bahwa pokok materi (subyek) matematika tidak
pernah akan sama lagi. Lakatos membuat kita berpikir sekitar apa yang
kebanyakan para ahli matematika lakukan. Ia menulis suatu dialog filosofis
yang mengagumkan tentang tanda bukti yang mendasar sebagaimana muncul dalam ilmu
geometri yang dipelopori oleh Euler. Ini merupakan suatu seni karyaintelektual
yang sangat baik. Karyanya ini disebut-sebut mirip seperti dialog yang
pernah dibuat oleh Hume, Berkeley, atau Plato.[3]
Setelah diangkat menjadi pengajar pada
london school of economic, dia sering terlibat diskusi dengan Popper, Feyerabend, dan Kuhn untuk membantu memantapkan
gagasannya tentang Metodology of Scientific Research Programmes,
sehingga pada tahun 1965, Lakatos mengadakan suatu simposium yang mempertemukan
gagasan Kuhn dan Popper. Pada tahun 1968 Lakatos menerbitkan karyanya yang
berjudul:Criticism and the methodology of scientific programmes, sebagai evaluasi atas prinsip falsifikasi dan upaya perbaikan atas
kelemahan dan kekurangannya. Lakatos meninggal pada 2 Februari 1974 di London
sebelum menyelesaikan karyanya yang berjudul: “The Changing Logic Of
Scientific Discovery” sebagai pembaruan dari karya Popper yag berjudul: “The
Logic Of Scientific Discovery”.[4] Lakatos meninggal pada 2 Pebruari 1974 di London sebelum ia sempat
menyelesaikan karyanya, The Changing Logic of Scientific Discovery.[5]
B. Latar Belakang Pemikiran Imre Lakatos Tentang Progam Riset
Pada masa sebelum Lakatos, ilmu pengetahuan
merupakan akumulasi teori yang berdiri sendiri. Pemikiran yang memandang ilmu
pengetahuan hanyalah akumulasi teori yang berdiri sendiri mendapat bantahan
dari teori relativisme Thomas S. Kuhn dan pemikiran Imre Lakatos. Menurut Kuhn,
ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kukuh dalam sebuah paradigma.
Paradigma menetapkan kriteria untuk memilih masalah yang dapat diasumsikan
mempunyai solusi. Dengan demikian, paradigma menjadi sumber keterpaduan bagi tradisi
penelitian yang normal.[6] Sedangkan menurut Lakatos, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori
yang kukuh dalam sebuah program riset.
Berbeda dengan Kuhn, yang memberikan kemungkinan terjadinya revolusi sebagai sesuatu yang luar
biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan, Imre Lakatos menepiskan sama sekali
terjadinya revolusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Lakatos,
perkembangan ilmu pengetahuan dapat terjadi melalui kontinuitas. Bukan teori
tunggal yang harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah, melainkan
rangkaian teori-teori. Rangkaian teori-teori itu, antara satu sama lain dihubungkan oleh suatu
kontinuitas yang menyatukan teori-teori tersebut menjadi program-program riset
(Research Programme). Kontinuitas tersebut memainkan peranan penting
dalam sejarah ilmu. Menurut lakatos, masalah-masalah pokok yang berhubungan
dengan logika penemuan tidak bisa dibahas secara memuaskan kecuali dalam
kerangka metodologi program-program riset.[7]
Keberbedaan Imre Lakatos dengan Popper dan Kuhn
bukan berarti ia tidak mau mengapresiasi sama sekali terhadap dua pemikiran
ini. Menurut pemikiran Popper, metode falsifikasi dapat digambarkan sederhana saja semisal melalui observasi terhadap
angsa-angsa putih, betapapun besar jumlahnya, orang tidak dapat sampai pada
kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu
kali observasi terhadap seekor angksa hitam untuk menyangkal pendapat tadi.
Jadi, dengan pembuktian seperti itulah sebuah hukum ilmiah berlaku: bahwa bukan
apakah suatu hukum ilmiah dapat dibenarkan melainkan dapat dibuktikan salah. Berdasarkan beberapa argumen tersebut, maka tak heran apabila beberapa
ilmuwan dan penulis justru mengategorikan Lakatos sebagai Popperian dalam
upayanya memperbaiki teori-teori pemikiran Popper dengan mengambil hasil-hasil
pemikiran Kuhn. Bahkan ada yang mengatakan bahwa model Lakatos merupakan
pengembangan pemikiran Kuhn tentang paradigma dan perluasan dari teori falsifikasi
Popper. Dalam hal pengembangan dari pemikiran Kuhn adalah bahwa Lakatos
memperhitungkan dan menekankan sejarah pentingnya penyusunan beberapa
penelitian alternatif pada waktu yang sama dan masalah yang sama.[8] Sedangkan upaya perluasan Lakatos terhadap pemikiran falsifikasi
Popper tampak ketika dia menyatakan bahwa tugas utama tidak dijadikan teori
sendiri-sendiri, namun menjadi program, yang masing-masing meliputi teori-teori
berganda. Teori berganda meliputi inti (core) yang tersusun dari pendapat atau
prinsip dasar, dan ikat pinggang (belt) yang terdiri dari pendapat atau
prinsip jadian atau hipotesis pembantu.
C. Konsep Metodologi
Program Riset Imre Lakatos
Metodologi program riset merupakan sebuah hasil dari gagasan
Lakatos yang berusaha mempertemukan ide dari Popper dan juga Kuhn. Metodologi
program riset menawarkan sebuah arah baru bagi pengembangan riset di masa depan
dalam bentuk struktur metodologis. Hal ini dilakukan demi kemajuan ilmu dan
perbaikannya sekaligus menjawab tantangan falsifikasionisme Popperian.[9] Dalam Program Riset ini terdapat aturan-aturan metodologi yang
disebut “Heuristik”. Heuristik menurut kamus filsafat adalah proses,
mirip coba-coba (trial and error), untuk menyelesaikan masalah
yang menyatakan tidak ada algoritma yang eksis. Heuristik bagi suatu masalah
adalah aturan atau metode untuk mendekati sebuah solusi.[10]
Heuristik, dalam
metodologi program riset yang dikembangkan oleh Imre Lakatos, adalah struktur
utama yang sangat penting, yang mengarahkan jalannya suatu riset dilaksanakan.
Standar sesuatu dianggap ilmiah adalah rangkaian teori-teori dan bukan teori
tunggal yang berdiri sendiri. Rangkaian teori-teori itu dihubungkan dengan
suatu kontinuitas yang menyatakan teori-teori tersebut dalam suatu program
riset. Kontinuitas tersebut memainkan peranan pentingdalam sejarah ilmu.
Kontinuitas ini dikembangkan dari suatu program riset yang dapat dibayangkan
sejak awal.[11] Heuristik sendiri terbagi menjadi 2 bagian yaitu heuristik
negatif dan heuristik positif.[12]
Heuristik Negatif
adalah program terperinci yang menetapkan asumsi-asumsi dasar yang melandasi
program itu. Inti pokok (Hard core) dan inti jangan sampai ditolak atau
dimodifikasi atau dilindungi dari ancaman falsifikasi oleh suatu lingkaran
pelindung (Protective-belt) berupa hipotesa-hipotesa pendukung induksi
awal.
Heuristik Positif
adalah berupa bimbingab garis besar yang menujukan bagaimana program riset itu
dapat dikembangkan. Perkembangan-perkembangan inti memerlukan perlengkapan bagi
inti pokok tadi dari asumsi-asumsi tambahan untuk menerangkan fenomena-fenomena
yang sudah dikenal lebih dahulu dan meramalkan fenomena baru. Dengan itu
program riset bisa progresif atau degeneratif tergantung pada apakah mereka
berhasil atau gagal menempuh ke pemahaman fenomena baru.
Menurut Lakatos, ilmu pengetahuan bukanlah tentang benar (verifikasi)
dan salah (falsifikasi). Ilmu pengetahuan bukanlah sekedar trial and
error, yaitu mengumpulkaan dugaan kemudian melakukan penolakan. Ilmu
pengetahuan adalah tentang wawasan yang lebih mendalam dalam sebuah pemecahan
masalah. Dalam bahasa Lakatos, ilmu pengetahuan merupakan sebuah program riset
yang dibuat dan bersifat lebih baik (progresif).[13]
Lakatos menjelaskan bahwa dalam falsifikasi dan perubahan paradigma
akan selalu terdapat kelemahan jika kedua-duanya berjalan sendiri-sendiri dalam
mengambil sebuah kesimpulan dari pengetahuan. Dua hal ini butuh integrasi dalam
sebuah program riset yang progresif. Falsifikasi mengajak para ilmuwan
meninggalkan teori yang tidak bisa difalsifikasi lagi, mengganti dengan teori
yang baru (pengembangan hipotesa baru). Perubahan paradigma menjelaskan bahwa
ilmu pengetahuan terdiri dari periode-periode ilmu pengetahuan normal, yang akan
bertemu dengan anomali-anomali hingga terjadi perubahan.[14]
Dari perbandingan diatas, Lakatos menyimpulkan sebuah metodologi
untuk menyeimbangkan kedua pandangan tersebut. Dalam hal ini ada tiga pokok
yang harus ada dalam metodologi program riset ini:
1.
Hard
core (inti pokok)
Dalam sebuah
penelitian, hardcore inilah yang berfungsi sebagai asumsi
dasar yang menjadi ciri dari program riset ilmiah yang melandasinya, yang tidak
dapat ditolak atau dimodifikasi. Inti pokok ini dilindungi dari ancaman falsifikasi.
Dalam aturan metodologis inti pokok disebut sebagai “heuristik negatif”
maksudnya inti pokok yang menjadi dasar diatas elemen yang lain karena sifatnya
menentukan dari suatu program riset dan menjadi hipotesis teoritis yang
bersifat umum dan sebagai dasar bagi pengembangan program pengembangan.[15]
2. Protective Belt (lingkaran pelindung)
Protective belt terdiri dari hipotesa-hipotesa bantu (auxiliary hypotheses)
dalam kondisi-kondisi awal. Dalam mengartikulasi hipotesa pendukung, lingkaran
pelindung ini harus menahan berbagai
serangan, pengujian dan memperoleh penyesuaian, bahkan perubahan dan
pergantian, demi mempertahankan hard core. Dalam aturan metodologis
program riset, protective belt ini disebut “heuristik positif”. Heuristik
ini dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana “inti pokok” program riset
dilengkapi agar dapat menerangkan dan meramalkan fenomena-fenomena yang nyata.[16] Di dalam protective belt itulah dijumpai anomali-anomali
yang tidak akan pernah selesai. Heuristik positif ini sangat bermanfaat
dalam menyelamatkan sang ilmuwan dari kesulitan dan kebingungan yang disebabkan
anomali-anomali. Dengan demikian, ia lebih fleksible dari pada heuristik
negatif karena senantiasa tumbuh dan berkembang mengikuti perjalanan waktu.[17]
3. A Series Theory (serangkaian teori)
Penjelasan dari serangkaian teori yaitu keterkaitan teori dimana teori yang
berikutnya merupakan akibat dari klausul bantu yang ditambahkan dari teori
sebelumnya. Hal yang perlu dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah
teori tunggal, melainkan rangkaian beberapa teori.[18] Keterkaitan teori dimana teori yang berikutnya merupakan akibat dari
klausal bantu yang ditambah dari teori sebelumnya. Menurut Imre Lakotos, yang
harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah teori tunggal, melainkan rangkaian teori baru. Kontinuitas ini berangkat dari program
riset murni. Keilmiahan suatu program riset dinilai berdasarkan dua syarat;[19]
a. Harus memenuhi derajat koherensi yang mengandung perencanaan yang pasti
untuk program riset selanjutnya.
b. Harus dapat menghasilkan penemuan fenomena baru
Jadi, pada dasarnya sejarah ilmu telah ada dan seharusnya merupakan
sejarah bagi banyak program riset yang saling bersaing. Oleh karena itu, hal
yang diperlukan keberadaannya dalam kegiatan pengembangan ilmu adalah heuristic
power (kekuatan pengembangannya) dan continuity (keberlanjutannya)[20]. Lakatos berpendapat bahwa mempertahankan hard core adalah
misi utama dari pola program riset ilmiah, hanya pada tatanan protective
belt sajalah yang bisa difalsifikasi. Menurut Lakatos, perkembangan ilmu
pengetahuan terjadi secara kontinyu. Ia menolak terjadinya revolusi dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Jadi dari sini bisa diambil kesimpulan letak
perbedaan antara Popper, Kuhn dan Lakatos.
Dalam sebuah kasus yang pernah terjadi, beberapa
fisikawan menggunakan hukum gravitasi Newton dan mekanika sebagai hard core.
Ditemukan sebuah planet kecil yang menyimpang dari kalkulasi hukum Newton. Apakah
penyimpangan ini bentuk dari gugurnya teori Newton? Ternyata bukan, justru para
fisikawan melihat ada sesuatu yang tidak tepat (kalkulasi, teropong, atau
tertutup debu kosmik) sehingga planet tersebut tidak sesuai dengan hard core.
Apakah dengan kegagalan-kegagalan itu teori Newton terbantah? Tidak, bahkan
akan diajukan lagi hipotesa-hipotesa pendukung baru yang lebih cerdas dan
canggih. selama program riset masih dikembangkan maka hard core harus
selalu dilindungi dari serangkaian penolakan. Ancaman-ancaman itu dialihkan
pada hipotesa bantu yang membentuk protective belt. Seorang ilmuan yang
mengubah hard core berarti telah memilih keluar dari program riset.
Jadi secara umum dapat dinyatakan, manfaat program riset ditentukan
oleh seberapa jauh para ilmuwan dapat mengembangkan temuan-temuannya atau malah
tidak menghasilkan apa-apa. Akan tetapi, suatu program yang mengalami
degenerasi akan membuka jalan bagi rivalnyayang lebih maju, sama seperti
astronomi Ptolemy yang akhirnya membuka jalan bagi teori Copernicus.
Teori Popper yang menganggap bahwa “Semua angsa putih bisa
difalsifikasikan dengan penemuan satu angsa hitam” tidak berarti kita
meninggalkan penelitian terhadap “angsa putih”. teori
yang ditolak (difalsifikasi) bukan berarti harus dibuang dan tidak berguna,
selanjutnya diganti dengan teori baru yang terputus dengan teori lama (ide
dasar). Akan tetapi teori baru menurutnya harus tetap berpegang pada substansi
teori yang menjadikan intelektual sejarah, walaupun mengalami proses
penyempurnaan.[21]
Teori merupakan rangkaian yang bersifat koheren, dan bukan seperti
pendapat dari Kuhn (Revolusi saintifik), yang besifat terpisah dan
terperiodesasi.[22]Kuhn menyimpulkan bahwa sains merupakan social process,
relatif dan tergantung pada faktor sosial yang berupa masyarakat ilmuwan.[23] Sehingga bersifat mistik dan tidak bisa dijangkau oleh akal,
Karena berdasarkan Psychology of discovery.[24] Metodologi program riset inilah yang menyempurnakan dua hal
tersebut. Konsep The Development of Science yang digagas oleh Lakatos dibangun
atas dasar metodologi program riset ilmiah. Baginya, perkembangan ilmu dapat
terjadi melalui kontinuitas.
E. Manfaat
Metodologi Program Riset dalam Perspektif Kajian Islam
Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber utama
agama Islam. Dari al-Qur’an dan as-Sunnah tersebut umat Islam menggali dan mengembangkan tata
nilai dan tata aturan dalam membangun peradaban. Dalam sepanjang sejarah
Islam, dari sumber utama tersebut telah
lahir khazanah keilmuan Islam yang
sangat kaya. Di antaranya adalah Fiqh-Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an-Tafsir, Ulumul
Hadis-Hadis, Ilmu
Kalam, Tasawwuf dan Falsafah Islam.dan
lain-lain
Pertumbuhan dan
perkembangan ilmu-ilmu keislaman tersebut, dengan
memanfaatkan program riset ilmiah
ala Lakatos, dapat dijelaskan dengan baik. Di
samping itu dapat pula dibedakan mana yang merupakan hard
core
dan mana yang masuk kategori protective belt.
Dengan pembedaan ini,
dapat dibedakan pula mana yang
absolut dan harus dilindungi dari perubahan dan mana yang dapat dikembangkan dan
disempurnakan.
Konsep hard core
dan protective
belt dalam scientific
research
progammes Lakatos dapat dimanfaatkan
dalam
mengembangkan studi Islam.
Studi Islam, dalam kerangkan scientific research
progammes meletakkan al- Qur’an dan as-Sunnah sebagai hard core. Sedangkan Fiqh-Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an-Tafsir,
Ulumul Hadis-Hadis, Ilmu Kalam, Tasawwuf
dan
Falsafah Islam diletakkan
dalam protective belt.
Al-Qur’an dan as-Sunnah,
sebagai hard core, bersifat absolut,
șabit dan tidak berubah karena merupakan inti pokok. Semua anomali yang
dialamatkan
kepada
Islam tidak diarahkan
kepada hard
core, tetapi diarahkan kepada
protektive belt. Protective belt berfungsi sebagai pelindung terhadap hard
core. Dengan demikian
ilmu-ilmu bantu dalam
studi keislaman seperti Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadis, Ilmu Kalam, Tasawwuf
dan
Falsafah Islam harus
selalu dikembangkan, direvisi dan disempurnakan agar efektif
dan
mampu melindungi hard core (al-Qur’an
dan as-Sunnah).
Dalam kerangka program
riset, pengembangan
studi-studi keislaman
adalah mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang
lahir dari petunjuk al-Qur’an
dan
as-Sunnan sebagai upaya menjawab lautan anomali yang
diarahkan kepada Islam, bukan mengembangkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Ushul
Fiqh, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadis, Ilmu
Kalam, Tasawwuf dan
Falsafah
merupakan konstruksi keilmuan
yang
bertugas melindungi al-Qur’an dari
perubahan.
Sehingga ilmu-ilmu tersebut dapat dikembangkan secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman.
Para pemikir modern semisal Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun,
Muhammad Syahrour, Nasr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi, Abdullah
Ahmed an-Na`im dan
lain-lain
pada dasarnya berikhtiar untuk
mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang
masuk kategori protective belt untuk
melindungi al-Qur’an dari pandangan negatif
dalam menghadapi isu-isu kontemporer. Pengembangan Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an, Ilmu kalam dan lain-lain merupakan ikhtiar
progresif dalam
rangka meletakkan al-Qur’an (hard
core) sebagai kitab suci yang șalihun li kulli
zaman wa makan. Tanpa
pengembangan terhadap ilmu-ilmu tersebut, maka
dikhawatirkan ilmu-ilmu tersebut tidak mampu melindungi hard core dan anomali mengarah kepada hard
core. Jika itu yang
terjadi, maka al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai inti pokok Islam tidak
dapat
diselamatkan dari lautan
anomali.
Sebagai contoh, penulis kemukakan
pemikiran an-Na`im dalam
upayanya untuk menepis bahwa Islam telah
melakukan perlakuan yang
diskriminatif terhadap perempuan dan non-muslim. Contoh ini
sebagai gambaran bahwa ketika
Islam ditantang
untuk menghadapi problematika masa kini, maka al-Qur’an
sebagai hard core harus dilindungi dari
serangan-serangan
tersebut dengan cara memperbaiki dan merevisi ilmu-ilmu yang
merupakan pisau bedah kajian keislaman.
Jika seseorang akan mengupas mangga
dan
tidak mungkin melakukan itu karena pisaunya tumpul dan berkarat, maka bukan mangganya lalu dibuang.
Tetapi solusinya adalah mengasah pisau
tersebut atau mengganti dengan pisau
yang baru.
Ada tuduhan bahwa Islam melakukan perlakuan yang diskriminatif
terhadap perempuan. Meskipun perempuan muslimah berhak
memegang
pendapat
asal sesuai
dengan ajaran dasar Islam, tetapi ada
pembatasan syari`ah atas hak
mereka untuk tampil dan berbicara di depan umum dan bergabung dengan laki- laki untuk mendukung pendapatnya.[25] Di samping pembatasan tadi, perempuan muslimah
juga
dibatasi syari`ah untuk berpartisipasi dalam
kehidupan publik.
Prinsip umum syari`ah
itu didasarkan pada surat
an-Nisa’
ayat 34 yang
menyatakan
bahwa laki-laki adalah
pelindung (qawwām)
bagi perempuan.
Perlakuan diskriminatif juga diberlakukan terhadap warga non-muslim
dengan status ahl az-zimmah dengan kewajiban membayar pajak (jizyah). Mereka tidak mempunyai hak-hak sipil dan politik
meskipun mereka dilahirkan dan
dibesarkan di wilayah Negara Islam. Mereka memang
diberi wewenang
untuk berpendapat
dan berserikat dalam komunitas
mereka sendiri dan kebebasan
tentang praktek-praktek keagamaan dan
urusan-urusan pribadi mereka, tetapi
untuk menentukan urusan publik tetap masih menjadi otoritas ekslusif umat Islam.
Perlakuan yang
diterapkan syari`ah terhadap perempuan dan zimmi tersebut jelas tidak sesuai
dengan prinsip
persamaan di depan
hukum. Hukum pidana syari`ah juga membedakan warga
Negara
berdasarkan
gender dan agama. Hal ini tampak pada kasus diyat (kompensasi uang bagi keluarga
korban pembunuhan). Dalam pembyaran diyat, korban perempuan dan
zimmi
tidak sebanyak untuk korban yang laki-laki. Kesaksian
perempuan tidak
diterima
dalam kasus hudud dan qișaș.
Kesaksian
perempuan
hanya diterima
dalam kasus-kasus
perdata, itu
pun dengan perbandingan dua perempuan sebanding
dengan satu laki-laki.
Hal
ini tampak pada kasus-kasus perdata seperti
perkawinan, waris
dan
lain-lain.[26]
Menurut an-Na`im, diskriminasi tersebut muncul karena semua prinsip-
prinsipnya didasarkan pada
teks-teks al-Qur’an dan as-Sunnah pada periode
Madinah. Dengan metode “evolusi
basis hukum Islam” (naskh ala an-Na`im), maka dapat diajukan solusi alternatif dengan menekankan penggunaan teks-teks
periode Makkah.
Untuk memperkuat argumentasinya,
an-Na`im mengajukan contoh
interpretasi terhadap surat
an-Nisa’ ayat 34 untuk
mensejajarkan posisi laki-laki
dan
perempuan. Kata qawwama pada ayat tersebut yang mengisyaratkan adanya otoritas laki-laki atas perempuan adalah
bersifat kondisional
berdasarkan variabel
ekonomi dan keamanan perempuan yang dijamin laki-laki. Dalam konstitusi yang egaliter yang
meletakkan keamanan baik laki-laki maupun perempuan pada aturan hukum
disertai kemandirian perempuan
dalam masalah
ekonomi, maka alasan
qawwama tidak berlaku
lagi (dibatalkan penetapannya). Apabila analisis ini bisa
diterima bersamaan dengan prinsip umum persamaan laki-laki dan perempuan yang
diisyaratkan oleh teks-teks periode makkah, maka dapat disimpulkan bahwa
laki-laki dan perempuan harus
sama di depan hukum.
Konstruksi pemikiran seperti dikemukakan an-Naim ini, terlepas dari adanya kritik tajam terhadap gagasan tersebut, dalam perspektif aplikasi program riset ilmiah ala Imre Lakatos merupakan upaya
kreatif
untuk mendungi al-Qur’an (hard
core) dari serangan. Cara yang diajukan oleh an-Na`im adalah dengan
mengasah pisau bedah analisis kajian al-Qur’an yaitu
merevisi konsep naskh
(protective belt) untuk menghindarkan al-Qur’an dari anomali
(upaya problemshift). Dengan cara
ini,
al-Qur’an sebagai inti utama Islam akan tetap kokoh,
tegak dan suci. Ia terhindar dari segala macam anomali. Revisi dan penyempurnaan hanya terjadi pada wilayah protective
belt (ilmu-ilmu keislaman). Ilmu-ilmu keislaman
dengan berbagai macam
pisau bedah analisis
yang digunakan dapat terus berkembang secara kontinyu demi menjaga dan melindungi al-Qur’an
dari berbagai macam tantangan dan
anomali.
Inilah
urgensi program riset ilmiah Lakatos dalam
studi keislaman. Mempertahankan hard
core adalah misi utama dari pola
program riset ilmiah. Ini
serasi dengan tujuan Islam yang meletakkan al-Qur’an sebagai kitab suci
dan pedoman yang abadi. Di sinilah titik perbedaan antara Lakatos dan Popper.
Bagi Popper, falsifikasi
diarahkan menyentuh
hard core,
sedangkan Lakatos menyatakan bahwa
falsifikasi hanya
boleh terjadi pada hipotesa bantu (protective
belt).
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Lakatos, yang nama aslinya Imre Lipschitz, lahir di Hungaria
9 Nopember 1922 dari keluarga Yahudi. Ia menyelesaikan pendidikan awal di
daerahnya, meskipun kala itu Hungaria berada dalam masa-masa sulit, terutama
ketika menghadapi caru marutnya perang dunia. Ia mendapat ijazah dalam bidang
matematika, fisika, dan filsafat pada tahun 1944 dari University of Debrecen. Pada tahun 1968 Lakatos menerbitkan karyanya
yang berjudul:Criticism and the methodology of scientific programmes, sebagai evaluasi atas prinsip falsifikasi dan upaya perbaikan atas
kelemahan dan kekurangannya. Lakatos meninggal pada 2 Februari 1974 di London
Latar Belakang Pemikiran Imre Lakatos Tentang Progam Riset dipengaruhi oleh tokoh Kuhn dan Popper.
Keberbedaan Imre Lakatos dengan Popper dan Kuhn bukan berarti ia tidak mau mengapresiasi sama sekali terhadap dua
pemikiran ini.
Metodologi program riset merupakan sebuah hasil dari gagasan
Lakatos yang berusaha mempertemukan ide dari Popper dan juga Kuhn. Metodologi
program riset menawarkan sebuah arah baru bagi pengembangan riset di masa depan
dalam bentuk struktur metodologis. Hal ini dilakukan demi kemajuan ilmu dan
perbaikannya sekaligus menjawab tantangan falsifikasionisme Popperian
Konsep hard core
dan protective
belt dalam scientific
research
progammes Lakatos dapat dimanfaatkan
dalam
mengembangkan studi Islam.
Studi Islam, dalam kerangkan scientific research
progammes meletakkan al- Qur’an dan as-Sunnah sebagai hard core. Sedangkan Fiqh-Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an-Tafsir,
Ulumul Hadis-Hadis, Ilmu Kalam, Tasawwuf
dan
Falsafah Islam diletakkan
dalam protective belt
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah Ahmed an-Na`im, Dekonstruksi Syari`ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani,
Lkis, Yogyakarta, 1997
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, Pusaka Setia, Bandung, 2010
C. Veerhak S. J. dan R. Haryono Imam, Filsafat
Ilmu Pengetahuan, Gramedia, Jakarta, 1989
http://www.academia.edu/31797672/METODOLOGI_PROGRAM_RISET_IMRE_LAKATOS_DALAM_PERSPEKTIF_KAJIAN_ISLAM
http://wwwhistory.mcs.st-andrews.ac.uk/Biographies/ Lakatos.html
Ahmad Amir Aziz 44 ISLAMICA, Vol.
1, No. 1, September 2006
Mohammad Tamtowi,Urgensi Scientific Research Programme Imre
Lakatos Bagi Pengembangan Studi Islam , Jurnal Substantia, Vol 12,
No. 1, April 2011
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Dan Asumsi Dasar
Paragigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yoyakarta, 2004
Poespowardojo, T.M. Soerjanto dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu
Pengetahuan, Kompas, Jakarta, 2015
Simon Blackburn, Kamus Filsafat, Pustaka Pelajar , Yogyakarta,
2013
Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu,
Interkoneksi-Interkoneksi, Yogyakarta, 2016
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer,
Rajawali Press, Jakarta, 2016
Zubaedi, Filsafat
Barat: Dari Logika Baru Rene
Descartes Hingga Revolusi Sains, Ar-Ruzz Media, Yogjakarta, 2000
[1] http://wwwhistory.mcs.st-andrews.ac.uk/Biographies/
Lakatos.html Ahmad Amir Aziz 44 ISLAMICA, Vol. 1, No. 1, September 2006
[3] http://www-groups.dcs.st-andrews.ac.uk/~history/Printonly/Lakatos.html. Dilihat pada
19-05-2018, pukul 22:00 WIB
[4] Muhammad Muslih, Filsafat
Ilmu: Kajian Dan Asumsi Dasar Paragigma Dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yoyakarta, 2004, hlm. 120.
[5] Ibid,
hlm. 69-70.
[7] C. Veerhak S. J. dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Gramedia, Jakarta, 1989, hlm.168
[8] Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga
Revolusi Sains, Ar-Ruzz Media, Yogjakarta, 200, hlm.183-185
[9] Muhammad Muslih, Filsafat
Ilmu: Kajian Dan Asumsi Dasar Paragigma Dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yoyakarta, 2004, hlm.70.
[10] Simon
Blackburn, Kamus Filsafat, Pustaka Pelajar , Yogyakarta, 2013, hlm. 400
[11] http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52.
Diakses pada tanggal 20 Mei 2018, jam 20.00 WIB
[12] Ibid,
Diakses pada tanggal 20 Mei 2018, jam 20.00 WIB
[13]Poespowardojo,
T.M. Soerjanto dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Kompas, Jakarta,
2015, hlm. 111-115.
[15] Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu,
Interkoneksi-Interkoneksi, Yogyakarta, 2016, hlm.521
[16] Muhammad Muslih, Filsafat
Ilmu: Kajian Dan Asumsi Dasar Paragigma Dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yoyakarta, 2004, hlm. 70-71.
[17] http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52. Diakses pada
tanggal 20 Mei 2018, jam 20.00 WIB
[18] Muhammad
Muslih, Op.Cit, hlm. 71.
[19] Ibid, hlm.122
[20] http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52. Diakses pada
tanggal 20 Mei 2018, jam 20.00 WIB
[21]http://www.academia.edu/31797672/METODOLOGI_PROGRAM_RISET_IMRE_LAKATOS_DALAM_PERSPEKTIF_KAJIAN_ISLAM.
Diakses pada tanggal 20 Mei 2018, jam 20.00 WIB
[22] Poespowardojo,
T.M. Soerjanto dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Kompas,
Jakarta, 2015, hlm.116.
[23] Zaprulkhan, Filsafat
Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta, 2016, hlm.
164.
[24]Mohammad
Tamtowi,Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos Bagi Pengembangan
Studi Islam , Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011. hlm. 38-39.
[25] Abdullah Ahmed an-Na`im, Dekonstruksi Syari`ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani,
Lkis, Yogyakarta, 1997, hlm.103
[26] Ibid, hlm.173-175
Tidak ada komentar:
Posting Komentar