OBJEK
KAJIAN ILMU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Filsafat
dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun
historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Perkembangan ilmu dan
teknologi mengalami percepatan yang luar biasa. Tidak dapat disangkal lagi
kalau ilmu telah banyak mendatangkan kemudahan bagi umat manusia. Ilmu telah
mengubah dunia dan memberantas kemiskinan, kelaparan, penyakit, dan berbagai
wajah atau duka dalam hidup. Dengan ilmu, kita dapat menjalani hidup menjadi
lebih mudah, tetapi jika salah dalam menerapkannya dapat menjadikan malapetaka.
Pada
dasarnya, ilmu lahir karena hasrat manusia ingin tahu dalam diri manusia
tentang semua objek yang dapat dirasakan oleh panca indranya. Terjadinya
perkembangan ilmu di setiap periode dikarenakan pola pikir manusia yang
mengalami perubahan. Manusia menjadi lebih proaktif dan kreatif menjadikan apa
saja yang dirasakan oleh panca indranya sebagai objek penelitian dan pengkajian
dengan sudut pandang berfikir yang berbeda-beda. Objek tertentu
merupakan syarat mutlak dari suatu ilmu. Karena objek inilah yang menentukan
langkah-langkah lebih lanjut dalam pengupasan lapangan ilmu tersebut. Tanpa
adanya objek tertentu maka dapat dipastikan tidak akan adanya pembahasan yang
mapan. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas
tentang objek-objek yang menjadi latar belakang kemunculan ilmu tersebut.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
konsep objek kajian ilmu ?
2. Bagaimanakah
perbedaan objek kajian ilmu dengan objek filsafat ilmu ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep
Objek Kajian Ilmu
Isi
setiap filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti (dipikirkannya). Jika
ia memikirkan pendidikan maka jadilah Filsafat Pendidikan. Jika yang
dipikirkannya hukum maka hasilnya tentulah Filsafat Hukum, dan seterusnya.
Seberapa luas yang mungkin dapat dipikirkan ? Luas sekali. Yaitu semua yang ada
dan mungkin ada. Inilah objek filsafat. Jika ia memikirkan etika jadilah
filsafat etika dan seterusnya. Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek
penelitian sain. Sain hanya meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat
meneliti objek yang ada dan mungkin ada, jika ia memikirkan pengetahuan jadilah
ia Filsafat Ilmu.[1]
Ilmu
merupakan kumpulan pengetahuan. Namun tidak dapat dibalik bahwa kumpulan
pengetahuan itu adalah ilmu. Kumpulan pengetahuan untuk dapat disebut ilmu
harus memiliki syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah
objek material dan objek formal. Setiap bidang ilmu, baik ilmu khusus maupun
ilmu filsafat harus memiliki dua macam objek (material dan formal) tersebut.[2]
1. Objek Material
Adalah sesuatu yang dijadikan sasaran
penyelidikan,.[3]
Objek material merupakan suatu hal yang menjadi sasaran penyelidikan atau pemikiran sesuatu yang dipelajari, baik
berupa benda konkret maupun abstrak. Pertama, objek material yang
bersifat konkret adalah objek yang secara fisik dapat terlihat dan terasa oleh
alat peraba. Objek yang termasuk kategori objek material konkret ini merupakan
objek yang paling banyak ditemui di sekeliling kita, baik yang bernyawa atau
yangb hidup maupun benda mati. Seperti kambing, kucing, pohon, batu, air,
tanah, dan sebagainya. Kedua, objek material yang bersifat abstrak,
misalnya nilai-nilai, ide-ide, paham, sikap, dan lain sebagainya.[4]
Suatu objek material, baik yang material dan
lebih-lebih yang non material sebenarnya merupakan suatu substansin yang tidak
begitu mudah untuk diketahui. Karena di dalamnya terkandung segi-segi yang
secara kuantitatif berganda (plural), berjenis-jenis dan secara
kualitatif bertingkat-tingkat dari yang kongkret sampai ke tingkat abstrak.
Sebagai contoh, manusia sebagai objek material. Secara kuantitatif meliputi
banyak jenis menurut ras, suku, bangsa, jenis kelamin, dan sebagainya. Secara
kualitatif meliputi kepribadian, ciri khas, karakter, dan individualitasnya yang
selanjutnya menjadi kompleks dalam setiap perilaku hidupnya.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa objek material
memiliki segi yang jumlahnya tidak terhitung. Sedangkan kemampuan manusia (akal
fikiran) bersifat terbatas. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh
pengetahuan yang benar dan pasti mengenai suatu objek, dengan mempertimbangkan
keterbatasan kemampuan akal fikiran manusia, maka perlu dilakukan
pembatasan-pembatasan. Pembatasan ini dilakukan dengan menentukan pertama kali
jenis objek (misalnya manusia, benda-benda, binatang, dan sebagainya), dan
selanjutnya titik pandang (misalnya menurut segi mana objek material itu
diteliti.[5]
Istilah objek material sering juga disamakan
atau dianggap sama dengan pokok persoalan (subject matter). Pokok
persoalan ini dibagi menjadi dua arti. Arti pertama, pokok persoalan dapat
dimaksudkan sebagai bidang khusus dari penyelidikan faktual. Misalnya,
penelitian tentang atom termasuk bidang fisika, penelitian tentang clorophyl
termasuk penelitian bidang botanoi atau biokimia, penelitian tentang bawah
sadar termasuk bidang psikologi. Arti kedua, pokok persoalan dimaksudkan
sebagai suatu kumpulan pertanyaan pokok yang saling berhubungan. Anatomi dan
fisiologi keduanya bertalian dengan struktur tubuh. Anatomi mempelajari strukturnya,
sedangkan fisiologi mempelajari fungsinya.
Kedua ilmu tersebut dapat dikatakan memiliki
pokok persoalan yang sama. Akan tetapi juga dapat dikatakan berbeda. Perbedaan
ini dapat diketahui apabila dikaitkan dengan corak-corak pertanyaan yang diajukan
dan aspek-aspek yang diselidiki dari tubuh tersebut. Anatomi mempelajari tubuh dalam
aspeknya yang statis, sedangkan fisiologi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang
dinamis.[6]
2. Objek
Formal
Adalah pusat perhatian ilmuwan dalam penelaahan
objek material. Dengan kata lain, objek formal merupakan kajian terhadap objek
material atas dasar tinjauan atau sudut pandang tertentu.[7] Objek
formal disebut juga sebagai cara memandang atau cara meninjau yang dilakukan
oleh seorang peneliti terhadap objek materialnya, serta prinsip-prinsip yang
digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu,
tetapi pada saat yang sama dibedakannya dari bidang-bidang lain.[8]
Objek formal merupakan objek yang akan
menjelaskan pentingnya arti, posisi, dan fungsi objek di dalam ilmu
pengetahuan. Dengan objek formal ini akan ditentukan suatu pengetahuan menjadi
ilmu pengetahuan. Selanjutnya, ia menentukan jenis ilmu pengetahuan yang tergolong bidang studi apa dan sifat
ilmu pengetahuan yang tergolong kuantitatif atau kualitatif. Hal ini berarti
bahwa dengan objek formal, ruang lingkup ilmu pengetahuan bisa ditentukan pula.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa menurut
objek formalnya ilmu pengetahuan itu
justru cenderung berbeda-beda dan berjenis-jenis bentuk dan sifatnya. Ada yang
karena kajian meterilnya berupa hal-hal yang fisik kebendaan dan ditinjaui dari
segi-segi pandang yang kuantitatif, maka lalu tergolong ke dalam ilmu
pengetahuan fisika atau yang sering disebut sebagai ilmu pengetahuan alam. Ada
pula yang kajian materialnya berupa hal-hal yang nonfisik, seperti manusia dan
masyarakat, yang ditinjau dari segi-segi yang lebih kualitatif, maka ada yang
tergolong ke dalam ilmu pengetahuan manusia dan kebudayaan dan ada yang
tergolong ke dalam ilmu pengetahuan sosial. Bahkan, ada yang secara khusus
menyangkut objek materi agama sehingga bidang ini tergolong ke dalam ilmu
pengetahuan keagamaan atau teologi.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa objek formal
mempunyai kedudukan dan peran yang mutlak dalam menentukan suatu pengetahuan
menjadi ilmu pengetahuan. Selanjutnya ia menentuka jenis ilmu pengetahuan yang
tergolong bidang studi apa, dan sifat ilmu pengetahuan yang tergolong
kuantitatif dan kualitatif.[9]
Selain itu, objek formal ilmu berkaitan dengan
pendekatan dan metode yang digunakan dalam melakukan pemahaman dan penyelidikan
terhadap objek material ilmu. Berbagai pendekatan dan metode yang dilakukan
oleh manusia dalam melakukan penyelidikan tentang alam semesta dan isinya. Pada
hakikatnya, pendekatan dan metode tersebut dapat dibagi ke dalam tiga kelompok
yaitu :[10]
1) Pendekatan
deduktif yang menghasilkan metode-metode penyelidikan atau penelitian berbasis
penalaran deduktif, seperti yang dilakukan dalam penelitian kualititaf.
2) Pendekatan
induktif dan metode penelitian yang berbasis penalaran induktif, seperti yang
dilakukan dalam penelitian kualitatif.
3) Pendekatan
yang menggabungkan penalaran deduktif dan induktif atau mix method,
diantaranya, seperti yang dilakukan dalam penelitian tindakan. Dalam penelitian
tindakan, hasil tindakan dianalisis dengan penalaran deduktif dan proses yang
dilakukan tindakan dianalisis dengan penalaran induktif melalui berbagai
pengamatan yang terkait dengan sasaran penelitian.
B. Perbedaan
Antara Objek Filsafat Ilmu Dengan Objek Kajian Ilmu
Cakupan
objek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu karena ilmu hanya terbatas
pada persoalan yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan
non empiris. Objek ilmu terkait dengan filsafat pada objek yang empiris saja.
Disamping itu, secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat, karena
awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini
secara sistematis, rasional, dan logis, termasuk hal yang empiris. Setelah
beberapa lama kajian yang terkait dengan hal yang empiris semakin bercabang dan
berkembang, sehingga menimbulkan spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang
praktis.[11]
Ilmu
sendiri mempunyai 2 objek sebagai syarat menjadi sebuah ilmu dari
kumpulan-kumpulan pengetahuan. Yaitu objek material dan objek formal. Objek
material ilmu adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh
manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Adapun objek formalnya adalah
metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan
deduktif.[12]
Sedangkan
filsafat ilmu sebagaimana dengan bidang-bidang ilmu yang lain, juga memiliki
objek material dan objek formal sendiri. Objek material atau pokok bahasan
filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah
disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Objek formal filsafat ilmu
adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh
perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan. Seperti : apa
hakikat ilmu itu sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa
fungsi ilmu pengetahuan itu bagi manusia? Problem-problem inilah yang
dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan
ontologis, epistemologis, dan aksiologis.[13]
Berdasarkan
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ada suatu perbedaan yang sangat jelas
antara objek filsafat ilmu dengan objek kajian ilmu. Dimana objek kajian ilmu
lebih fokus kepada penyelidikan atau penelitian tentang kumpulan-kumpulan
pengetahuan sebelum menjadi ilmu, sehingga menjadi sebuah ilmu yang baru.
Sedangkan objek filsafat ilmu memfokuskan kepada penyelidikan sesuatu yang
sudah menjadi sebuah ilmu pengetahuan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu
mempunyai 2 objek, yaitu objek material dan objek formal. Objek material ilmu
adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia
adalah objek material ilmu kedokteran. objek material sering juga disamakan
atau dianggap sama dengan pokok persoalan (subject matter). Adapun objek
formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti
pendekatan induktif dan deduktif
objek
kajian ilmu lebih fokus kepada penyelidikan atau penelitian tentang
kumpulan-kumpulan pengetahuan sebelum menjadi ilmu, sehingga menjadi sebuah
ilmu yang baru. Sedangkan objek filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu
sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode
ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum.
Serta filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar
ilmu pengetahuan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Susanto, Filsafat Ilmu : Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis Epistimologis,
dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta, 2015, Cet-5
Aceng
Rahmat, Filsafat Ilmu Lanjutan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2013, Cet-2
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2015, Cet-8
Amtsal Bachtiar, Filsafat Ilmu, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2016, Cet-14
Beni
Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, Pustaka Setia, Bandung,
2015
Muzairi, Filsafat Umum, Teras,
Yogyakarta, 2015, Cet-8
Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta,
2004, Cet-4
[1] Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2015, Cet-8, hlm.81
[2] Muzairi, Filsafat Umum,
Teras, Yogyakarta, 2015, Cet-8, hlm.11
[3] Amtsal Bachtiar, Filsafat
Ilmu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, Cet-14, hlm.1
[4] A. Susanto, Filsafat
Ilmu : Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis Epistimologis, dan Aksiologis,
Bumi Aksara, Jakarta, 2015, Cet-5, hlm.78-79
[5] Ibid, hlm.82
[6] Muzairi, Filsafat Umum,
Teras, Yogyakarta, 2015, Cet-8, hlm.12-13
[7] Beni Ahmad Saebani, Filsafat
Ilmu dan Metode Penelitian, Pustaka Setia, Bandung, 2015, hlm.42
[8] Muzairi, Op.Cit, hlm.12
[9] A. Susanto, Filsafat
Ilmu : Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis Epistimologis, dan Aksiologis,
Bumi Aksara, Jakarta, 2015, Cet-5, hlm.82-83
[10] Aceng Rahmat, Filsafat
Ilmu Lanjutan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, Cet-2, hlm.103
[11] Amtsal Bachtiar, Filsafat
Ilmu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, Cet-14, hlm.2
[12] Ibid, hlm.1
[13] Rizal Mustansyir dan
Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2004,
Cet-4, hlm.44-45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar