Rabu, 21 November 2018

MAKALAH OBJEK KAJIAN ILMU


OBJEK KAJIAN ILMU

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Perkembangan ilmu dan teknologi mengalami percepatan yang luar biasa. Tidak dapat disangkal lagi kalau ilmu telah banyak mendatangkan kemudahan bagi umat manusia. Ilmu telah mengubah dunia dan memberantas kemiskinan, kelaparan, penyakit, dan berbagai wajah atau duka dalam hidup. Dengan ilmu, kita dapat menjalani hidup menjadi lebih mudah, tetapi jika salah dalam menerapkannya dapat menjadikan malapetaka.
Pada dasarnya, ilmu lahir karena hasrat manusia ingin tahu dalam diri manusia tentang semua objek yang dapat dirasakan oleh panca indranya. Terjadinya perkembangan ilmu di setiap periode dikarenakan pola pikir manusia yang mengalami perubahan. Manusia menjadi lebih proaktif dan kreatif menjadikan apa saja yang dirasakan oleh panca indranya sebagai objek penelitian dan pengkajian dengan sudut pandang berfikir yang berbeda-beda. Objek tertentu merupakan syarat mutlak dari suatu ilmu. Karena objek inilah yang menentukan langkah-langkah lebih lanjut dalam pengupasan lapangan ilmu tersebut. Tanpa adanya objek tertentu maka dapat dipastikan tidak akan adanya pembahasan yang mapan. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang objek-objek yang menjadi latar belakang kemunculan ilmu tersebut.


B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah konsep objek kajian ilmu ?
2.      Bagaimanakah perbedaan objek kajian ilmu dengan objek filsafat ilmu ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Konsep Objek Kajian Ilmu
Isi setiap filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti (dipikirkannya). Jika ia memikirkan pendidikan maka jadilah Filsafat Pendidikan. Jika yang dipikirkannya hukum maka hasilnya tentulah Filsafat Hukum, dan seterusnya. Seberapa luas yang mungkin dapat dipikirkan ? Luas sekali. Yaitu semua yang ada dan mungkin ada. Inilah objek filsafat. Jika ia memikirkan etika jadilah filsafat etika dan seterusnya. Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain. Sain hanya meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti objek yang ada dan mungkin ada, jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia Filsafat Ilmu.[1]
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan. Namun tidak dapat dibalik bahwa kumpulan pengetahuan itu adalah ilmu. Kumpulan pengetahuan untuk dapat disebut ilmu harus memiliki syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang ilmu, baik ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memiliki dua macam objek (material dan formal) tersebut.[2]
1.      Objek Material
Adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan,.[3] Objek material merupakan suatu hal yang menjadi sasaran penyelidikan  atau pemikiran sesuatu yang dipelajari, baik berupa benda konkret maupun abstrak. Pertama, objek material yang bersifat konkret adalah objek yang secara fisik dapat terlihat dan terasa oleh alat peraba. Objek yang termasuk kategori objek material konkret ini merupakan objek yang paling banyak ditemui di sekeliling kita, baik yang bernyawa atau yangb hidup maupun benda mati. Seperti kambing, kucing, pohon, batu, air, tanah, dan sebagainya. Kedua, objek material yang bersifat abstrak, misalnya nilai-nilai, ide-ide, paham, sikap, dan lain sebagainya.[4]
Suatu objek material, baik yang material dan lebih-lebih yang non material sebenarnya merupakan suatu substansin yang tidak begitu mudah untuk diketahui. Karena di dalamnya terkandung segi-segi yang secara kuantitatif berganda (plural), berjenis-jenis dan secara kualitatif bertingkat-tingkat dari yang kongkret sampai ke tingkat abstrak. Sebagai contoh, manusia sebagai objek material. Secara kuantitatif meliputi banyak jenis menurut ras, suku, bangsa, jenis kelamin, dan sebagainya. Secara kualitatif meliputi kepribadian, ciri khas, karakter, dan individualitasnya yang selanjutnya menjadi kompleks dalam setiap perilaku hidupnya.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa objek material memiliki segi yang jumlahnya tidak terhitung. Sedangkan kemampuan manusia (akal fikiran) bersifat terbatas. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh pengetahuan yang benar dan pasti mengenai suatu objek, dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan akal fikiran manusia, maka perlu dilakukan pembatasan-pembatasan. Pembatasan ini dilakukan dengan menentukan pertama kali jenis objek (misalnya manusia, benda-benda, binatang, dan sebagainya), dan selanjutnya titik pandang (misalnya menurut segi mana objek material itu diteliti.[5]
Istilah objek material sering juga disamakan atau dianggap sama dengan pokok persoalan (subject matter). Pokok persoalan ini dibagi menjadi dua arti. Arti pertama, pokok persoalan dapat dimaksudkan sebagai bidang khusus dari penyelidikan faktual. Misalnya, penelitian tentang atom termasuk bidang fisika, penelitian tentang clorophyl termasuk penelitian bidang botanoi atau biokimia, penelitian tentang bawah sadar termasuk bidang psikologi. Arti kedua, pokok persoalan dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pertanyaan pokok yang saling berhubungan. Anatomi dan fisiologi keduanya bertalian dengan struktur tubuh. Anatomi mempelajari strukturnya, sedangkan fisiologi mempelajari fungsinya.
Kedua ilmu tersebut dapat dikatakan memiliki pokok persoalan yang sama. Akan tetapi juga dapat dikatakan berbeda. Perbedaan ini dapat diketahui apabila dikaitkan dengan corak-corak pertanyaan yang diajukan dan aspek-aspek yang diselidiki dari tubuh tersebut. Anatomi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang statis, sedangkan fisiologi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang dinamis.[6] 
2.      Objek Formal
Adalah pusat perhatian ilmuwan dalam penelaahan objek material. Dengan kata lain, objek formal merupakan kajian terhadap objek material atas dasar tinjauan atau sudut pandang tertentu.[7] Objek formal disebut juga sebagai cara memandang atau cara meninjau yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap objek materialnya, serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama dibedakannya dari bidang-bidang lain.[8]
Objek formal merupakan objek yang akan menjelaskan pentingnya arti, posisi, dan fungsi objek di dalam ilmu pengetahuan. Dengan objek formal ini akan ditentukan suatu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Selanjutnya, ia menentukan jenis ilmu pengetahuan  yang tergolong bidang studi apa dan sifat ilmu pengetahuan yang tergolong kuantitatif atau kualitatif. Hal ini berarti bahwa dengan objek formal, ruang lingkup ilmu pengetahuan bisa ditentukan pula.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa menurut objek formalnya ilmu  pengetahuan itu justru cenderung berbeda-beda dan berjenis-jenis bentuk dan sifatnya. Ada yang karena kajian meterilnya berupa hal-hal yang fisik kebendaan dan ditinjaui dari segi-segi pandang yang kuantitatif, maka lalu tergolong ke dalam ilmu pengetahuan fisika atau yang sering disebut sebagai ilmu pengetahuan alam. Ada pula yang kajian materialnya berupa hal-hal yang nonfisik, seperti manusia dan masyarakat, yang ditinjau dari segi-segi yang lebih kualitatif, maka ada yang tergolong ke dalam ilmu pengetahuan manusia dan kebudayaan dan ada yang tergolong ke dalam ilmu pengetahuan sosial. Bahkan, ada yang secara khusus menyangkut objek materi agama sehingga bidang ini tergolong ke dalam ilmu pengetahuan keagamaan atau teologi.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa objek formal mempunyai kedudukan dan peran yang mutlak dalam menentukan suatu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Selanjutnya ia menentuka jenis ilmu pengetahuan yang tergolong bidang studi apa, dan sifat ilmu pengetahuan yang tergolong kuantitatif dan kualitatif.[9]
Selain itu, objek formal ilmu berkaitan dengan pendekatan dan metode yang digunakan dalam melakukan pemahaman dan penyelidikan terhadap objek material ilmu. Berbagai pendekatan dan metode yang dilakukan oleh manusia dalam melakukan penyelidikan tentang alam semesta dan isinya. Pada hakikatnya, pendekatan dan metode tersebut dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu :[10]
1)      Pendekatan deduktif yang menghasilkan metode-metode penyelidikan atau penelitian berbasis penalaran deduktif, seperti yang dilakukan dalam penelitian kualititaf.
2)      Pendekatan induktif dan metode penelitian yang berbasis penalaran induktif, seperti yang dilakukan dalam penelitian kualitatif.
3)      Pendekatan yang menggabungkan penalaran deduktif dan induktif atau mix method, diantaranya, seperti yang dilakukan dalam penelitian tindakan. Dalam penelitian tindakan, hasil tindakan dianalisis dengan penalaran deduktif dan proses yang dilakukan tindakan dianalisis dengan penalaran induktif melalui berbagai pengamatan yang terkait dengan sasaran penelitian.

B.       Perbedaan Antara Objek Filsafat Ilmu Dengan Objek Kajian Ilmu 
Cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu karena ilmu hanya terbatas pada persoalan yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan non empiris. Objek ilmu terkait dengan filsafat pada objek yang empiris saja. Disamping itu, secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat, karena awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini secara sistematis, rasional, dan logis, termasuk hal yang empiris. Setelah beberapa lama kajian yang terkait dengan hal yang empiris semakin bercabang dan berkembang, sehingga menimbulkan spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang praktis.[11]
Ilmu sendiri mempunyai 2 objek sebagai syarat menjadi sebuah ilmu dari kumpulan-kumpulan pengetahuan. Yaitu objek material dan objek formal. Objek material ilmu adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Adapun objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif.[12]
Sedangkan filsafat ilmu sebagaimana dengan bidang-bidang ilmu yang lain, juga memiliki objek material dan objek formal sendiri. Objek material atau pokok bahasan filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan. Seperti : apa hakikat ilmu itu sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa fungsi ilmu pengetahuan itu bagi manusia? Problem-problem inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.[13]
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ada suatu perbedaan yang sangat jelas antara objek filsafat ilmu dengan objek kajian ilmu. Dimana objek kajian ilmu lebih fokus kepada penyelidikan atau penelitian tentang kumpulan-kumpulan pengetahuan sebelum menjadi ilmu, sehingga menjadi sebuah ilmu yang baru. Sedangkan objek filsafat ilmu memfokuskan kepada penyelidikan sesuatu yang sudah menjadi sebuah ilmu pengetahuan.




















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ilmu mempunyai 2 objek, yaitu objek material dan objek formal. Objek material ilmu adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. objek material sering juga disamakan atau dianggap sama dengan pokok persoalan (subject matter). Adapun objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif
objek kajian ilmu lebih fokus kepada penyelidikan atau penelitian tentang kumpulan-kumpulan pengetahuan sebelum menjadi ilmu, sehingga menjadi sebuah ilmu yang baru. Sedangkan objek filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Serta filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan tersebut.













DAFTAR PUSTAKA

A. Susanto, Filsafat Ilmu : Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis Epistimologis, dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta, 2015, Cet-5
Aceng Rahmat, Filsafat Ilmu Lanjutan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, Cet-2
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2015, Cet-8
Amtsal Bachtiar, Filsafat Ilmu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, Cet-14
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, Pustaka Setia, Bandung, 2015
Muzairi, Filsafat Umum, Teras, Yogyakarta, 2015, Cet-8
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2004, Cet-4


[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2015, Cet-8, hlm.81
[2] Muzairi, Filsafat Umum, Teras, Yogyakarta, 2015, Cet-8, hlm.11
[3] Amtsal Bachtiar, Filsafat Ilmu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, Cet-14, hlm.1
[4] A. Susanto, Filsafat Ilmu : Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis Epistimologis, dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta, 2015, Cet-5, hlm.78-79
[5] Ibid, hlm.82
[6] Muzairi, Filsafat Umum, Teras, Yogyakarta, 2015, Cet-8, hlm.12-13
[7] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, Pustaka Setia, Bandung, 2015, hlm.42
[8] Muzairi, Op.Cit, hlm.12
[9] A. Susanto, Filsafat Ilmu : Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis Epistimologis, dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta, 2015, Cet-5, hlm.82-83
[10] Aceng Rahmat, Filsafat Ilmu Lanjutan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, Cet-2, hlm.103
[11] Amtsal Bachtiar, Filsafat Ilmu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, Cet-14, hlm.2
[12] Ibid, hlm.1
[13] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2004, Cet-4, hlm.44-45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar